Rabu, 16 Juli 2014

CANGKIR 18 : AL QUR’AN MEMILIKI KEKUATAN SIHIR?


Tatkala membaca buku Kubisikkan Untukmu, ada sebuah bab yang berjudul, “Sihir Al Quran, Kenapa Kita Tidak Merasakannya?”. Hm... sihir Al Quran?  
“Dan tatkala kebenaran (Al Qur'an) itu datang kepada mereka, mereka berkata: "Ini adalah sihir dan sesungguhnya kami adalah orang-orang yang mengingkarinya"
Menyimak surat Az-Zukhruf ayat 30 di atas, kita bisa mengetahui bahwa ternyata orang-orang kafir Quraisy dulu seringkali menyebut Al Qur’an sebagai sebuah sihir. Mengapa bisa disebut sebagai sihir?

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, sihir merupakan perbuatan yang ajaib yang dilakukan dengan pesona dan kekuatan gaib (guna-guna, mantra, dsb) atau bisa diartikan sebagai ilmu tentang penggunaan kekuatan gaib; ilmu gaib (teluh, tuju, dsb). Lalu apa yang membuat Al-Qur’an disamakan dengan sihir? Mari kita simak dulu beberapa kisah berikut.

Suatu ketika Abu Jahal, Abu Lahab, dan Akhnas bin Syariq mendatangi kediaman Rasulullah SAW. Mereka datang secara sembunyi-sembunyi di malam hari untuk mendengarkan lantunan ayat suci yang dibaca oleh Rasulullah saat shalat. Tentu, mereka mendengarkannya dari luar bilik rumah secara terpisah. Seusai Rasulullah melaksanakan shalat, saat beranjak pulang, mereka bertiga pun saling memergoki satu sama lain. Mereka saling mencela dan sepakat untuk tidak lagi menyambangi kediaman Rasulullah.

Malam berikutnya, ketiga orang ini ternyata saling melanggar kesepakatan tanpa diketahui satu sama lain. Mereka tak kuasa menahan keinginannya untuk memperdengarkan lantunan ayat suci Al Quran. Mereka pun saling mengira bahwa yang lain tak akan datang ke rumah Rasulullah. Hingga Rasulullah menyelesaikan shalatnya, mereka pun kembali saling memergoki satu sama lain. Maka terjadilah celaan sebagaimana malam sebelumnya.

Di malam berikutnya lagi, mereka pun tak dapat menahan gejolak jiwanya untuk mendengarkan kembali lantunan ayat Al Quran. Mereka pun menempati posisi masing-masing. Dan, seusai Rasulullah shalat, mereka kembali memergoki satu sama lain. Akhirnya, mereka pun memutuskan membuat perjanjian untuk sama-sama tidak kembali ke kediaman Rasulullah bahkan sekedar membaca Al Quran.

Lihatlah, ternyata keindahan AL Quran ini berhasil mempesona hati sosok Abu Jahal, Abu Lahab, dan Akhnas bin Syariq.

Lain halnya dengan ketiga sosok tersebut, Abul Walid, seorang pemuka Quraisy pernah menyambangi Rasulullah untuk melontarkan cacian. Setelah ia puas mencaci maki, Rasulullah pun balik berkata, “Apakah engkau telah selesai menyampaikan apa yang ingin kau sampaikan, wahai Abul Walid? Maka, sekarang dengarkanlah apa yang kuucapkan.”

Rasulullah pun melantunkan surat Fushilat ayat 1 sampai 13. Tiba-tiba Abul Walid membekap mulut Rasulullah agar beliau menghentikan bacaannya. Maka Abul Walid pun kembali kepada kaumnya. Ia pun berkata, “Aku mendengarkan darinya kalimat yang bukan kalimat jin dan kalimat bukan manusia.... Demi 
Allah, kalimat itu sangat nikmat....”

Subhanallah.... Ternyata keindahan inilah yang dianggap oleh para kafir Quraisy sebagai sebuah sihir. Lantunan ayat Al Quran telah menggetarkan jiwa mereka. Mereka pun takut, mendengarkan Al Quran akan membuat kepercayaan mereka terhadap budaya leluhur goyah. Pesona Al Quran ini jugalah yang telah membuat seorang Umar Bin Khattab, tokoh Quraisy yang dikenal berwatak keras,  masuk Islam.

Begitu dahsyat pesona Al Quran ini. Bahkan ia mampu membuat hati orang-orang Quraisy bergetar kala mendengarnya. Ah, apakah kita bisa merasakan pula getaran itu setiap kali dibacakan atau membaca Al Quran? Hm, rasanya jarang sekali. Barang kali kita baru bisa menangis saat hati kita sedang dirundung duka. Tapi, kalau suka menyapa, rasanya sulit sekali meneteskan air mata. Ah!

Dalam sebuah hadis riwayat muslim, suatu kali Rasulullah pun pernah ditanya, “Siapakah orang yang paling baik suaranya dalam membaca Al Quran dan paling baik bacaannya?

Maka Rasul pun menjawab, “ Ialah orang yang jika engkau mendengarkannya, engkau lihat dirinya takut kepada Allah.”

Astagfirullah....


Jika diri ini masih sulit untuk melantunkan Al Quran dengan baik, hati ini belum mampu merasakan getaran saat memperdengarkan Al Quran, barang kali memang ada yang salah dengan ketundukan diri ini kepada-Mu.

16 Juli 2014

CANGKIR 17 : ANDAI SEMUA TAHU

Pagi menjelang siang, ibu sudah duduk di depan televisi. Tak seperti biasanya. Dengan sebuah remote, beliau mengganti-ganti channel layar kaca. Entah, tontonan apa yang beliau cari. Jam segini, tentu lebih banyak tayangan gosip ataupun film semacam FTV. Beliau pun berhenti pada salah satu media yang akhir-akhir ini begitu konsisiten menayangkan berita tentang Gaza.

Tiba-tiba ibu pun bertanya setelah sejenak terdiam meresapi tayangan yang ada di depannya.

“Penyebab perang di Palestina itu apa, tho?”

Aku pun terhenyak. Ternyata tak banyak orang yang tahu tentang penyebab serangan Israel ke Palestina. Ya, bagi beberapa orang, hal ini tentu tak begitu penting. Apalagi dengan berita yan simpang siur di kalangan media. Dan, selama ini, aku lupa untuk memberikan informasi kepada mereka, terutama keluargaku, tentang apa yang telah terjadi di luar sana. Beberapa hari ini, aku hanya memperlihatkan foto-foto korban serangan Israel tapi tak pernah memberitahukan lebih dari itu.

“Israel itu telah merebut wilayah Palestina, Bu. Selain itu,mereka juga berusaha menghancurkan Masjidil Aqso dan ingin mendirikan Haikal Solomon. Jadi, rakyat Palestina sekarang berjuang mempertahankan wilayahnya juga menjaga Masjidil Aqso.”

Aku berusaha menjelaskan dengan singkat. Tapi, mengucapkan Haikal Solomon itu agaknya jawaban yang kurang bisa dicerna. Aku pun kemudian menjelaskan peta wilayah yang kebetulan ditayangkan di layar kaca.

“Sekarang, wilayah Palestina tinggal yang sedikit itu sementara yang lain telah dikuasai oleh Israel. Orang-orang Palestina dipaksa meninggalkan rumah-rumah yang menjadi hak mereka.”

“Anak-anak kecil di sana berani, ya, melawan tentara,” kata Ibu saat melihat media menyangkan video tentang perlawanan yang dilakukan oleh anak-anak.

“Ya, mereka bahkan berani melempari tank-tank Israel hanya dengan batu,” aku pun menimpali. 

Hm, sedih rasanya melihat kenyataan bahwa tak banyak orang paham tentang derita yang ada di Palestina. Ditambah dengan pendapat beberapa orang yang seakan memprovokasi untuk tak acuh pada Palestina. Hei, andai kalian tahu yang sebenarnya terjadi.


Ada yang berpendapat bahwa percuma menggelar aksi-aksi ataupun demonstrasi peduli Gaza, toh Israel takkan menggubrisnya. Betul, aksi-aksi kami takkan pernah didengar oleh Israel. Tapi, setidaknya aksi-aksi ini bisa menjadi sebuah sarana untuk mengabarkan bahwa saudara kita di Gaza sedang dalam kedzaliman. Setidaknya, aksi ini bisa memberikan kabar bagi yang belum tahu, mengingatkan bagi yang lupa, menyadarkan mereka yang awalnya tak peduli. Sunggu, aksi ini lebih baik daripada berdiam diri. 

15 Juli 2014

CANGKIR 16 : DUA PULUH RIBU

Kulihat jam yang yang tergantung di salah satu sudut dinding, Pukul 13.30. Aku pun bergegas menuju ke area bus Surabaya-Semarang. Sebuah bus berwarna merah tua telah siap menunggu kedatangan penumpang. Aku pun segera masuk menuju ke arah bangku nomor dua yang masih kosong. Bus nampak sepi penumpang. Agaknya, aku harus menunggu lama. Bus takkan segera berangkat.

Lalu lalang pengasong naik-turun menawarkan barang dagangan. Seorang penjual majalah pun tak mau kalah. Ia menawarkan majalah Kartini edisi lama kepadaku. Ah, mentang-mentang aku wanita, penjual ini menawakan Kartini kepadaku dan Tempo kepada bapak yang duduk di depanku.

“Ini separuh harga, Mbak,” tawarnya kepadaku.

Kupandangi cover majalahnya. Aku tak tertarik dengan berita yang disajikan.

Wonten Tempo, Pak?”

Yang kuajak bicara pun tercekat. Bingung mungkin karena aku lebih tertarik pada Tempo dibanding majalah wanita yang ditawarkan untukku. Sebuah majalah edisi bulan Juni pun beliau berikan padaku. Wah, ini pasti masih mahal harganya, pikirku.

“Edisi Juni, Mbak, beritanya belum basi. Monggo, Mbak, mau bayar berapa, buat penglarisan saya.”

Aku berpikir sejenak. Semisal dihitung separuh harga seperti yang Kartini, ini juga masih lumayan mahal.

“Mbak, nawar berapa? Kurang dari harga yang tertera ini juga nggak apa.”

Bapak penjual ini pun mulai merayu. Beliau cerita dari kemarin dagangannya sepi, tak ada pemasukan untuk sekedar mengepulkan asap dapur, tak ada uang untuk sekedar berbuka.

“Sepuluh ribu, ya, Pak?” tawarku asal.

Beliau pun mengernyitkan dahi pertanda tak setuju. Harga yang kutawarkan tentu jauh dari harga asli majalah itu.

“Dua puluh ribu ya, Mbak? Majalah ini masih tergolong baru, edisi Juni.”

Aduh, dua puluh ribu? Uangnya.... Apa nggak jadi beli aja, ya. Hm....

Eh, dua puluh ribu? Tiba-tiba aku pun teringat dengan kejadian beberapa jam yang lalu sebelum berangkat ke terminal.

Hari ini, sebelum pulang, aku berencana menjual kertas-kertas yang sudah tak terpakai ke penjual rongsokan. Bersama Mbak Ratih—juga berniat menjual barang—aku pun menuju ke tempat biasa. Namun, tempat yang kami tuju nampak sepi. Tak ada sahutan pemilik rumah padahal kami telah berkali-kali mengucapkan salam. Sedikit putus asa, kami pun memutuskan pulang. Di perjalanan, alhamdulillah, kami menemukan penjual rongsokan yang lain. Tempatnya agak masuk ke dalam gang sempit dan lebih kecil dibandingkan tempat yang biasa kami tuju. Seorang Ibu pun menyambut.

“Memang udah rejeki ibunya,” bisik Mbak Ratih.

Kertas-kertas bekas yang kubawa pun segera ditimbang. Beratnya 16 kg dan dihargai Rp1200,00 per kilonya.

“Ini, Mbak, dua puluh ribu,” Ibu itu menyodorkan empat lembar uang lima ribuan kepadaku.

Aku merasa ada yang salah saat menerimanya. Apa nggak kebanyakan? Tapi, ya sudah, alhamdulillah bisa untuk ongkos pulang, pikirku.


Empat lembar uang lima ribuan itu masih tertata utuh di dompetku. Rencananya uang itu mau aku pakai untuk membeli sesuatu. Tapi, ya, sudah. Aku mengeluarkan uang dua puluh ribu dan menukarnya dengan sebuah majalah yang sejak tadi ada di tanganku. Ah, uang ini memang rejeki dari Allah untuk si bapak.

14 Juli 2014

CANGKIR 15 : ASUPAN RUH

Manusia diciptakan oleh Allah swt dengan tiga potensi yakni jasad, ruh/hati, dan fikiran. Jasad merupakan potensi yang bisa dilihat wujudnya, yakni tubuh/raga kita. Ruh/hati itu tercermin dari perilaku atau kondisi psikologis seseorang. Sementara, pikiran / akal biasanya diukur dengan tingkat kecerdasan / IQ. Nah, ketiga potensi ini sebenarnya memiliki fungsi yang sama pentingnya dan saling mendukung satu sama lain. Namun, menurut saya pribadi, dari ketiga potensi itu,, yang paling penting ialah ruh. Ruh seakan punya kendali besar untuk menggerakkan jasad dan pikiran.

Kalau jasad sakit, selama ruh dan pikiran dalam kondisi baik, maka jasad pun akan segera membaik. Lihat saja, orang yang sakit akan realtif cepat sembuh jika ia senantiasa mendekatkan diri kepada Tuhannya dan berpositif thingking (kecuali takdir telah menentukan mautnya). Kalau pikiran mengalami gangguan, selama ruh dan jasad masih dalam kondisi baik, manusia pun masih bisa beraktivitas. Namun, bagaimana jika ruhnya yang sakit? Maka matilah seluruh potensi yang lain. Lha, kok bisa? Misalnya saja, saat kita sedang mengalami suatu kejadian yang tidak menyenangkan hingga menjadikan diri kita larut dalam kesedihan. Nah, kesedihan yang berlarut-larut ini merupakan pertanda sakitnya ruh/hati kita. ketika kita dilanda kesedihan yang sangat dalam tentu bisa membuat diri kita jatuh sakit (jasad ikut sakit) dan tidak bisa berpikir jernih, logikanya akan terganggu serta hanya mementingkan perasaanya saja (pikiran jadi sakit).

Nah, bagaimana agar ruh / hati kita senantiasa dalam kondisi sehat? Jika untuk menyehatkan jasad kita harus mengkonsumsi makanan dan minuman yang bergizi, maka ruh pun perlu diberi asupan yang menyehatkan pula. Apa itu? Tentu dengan beribadah. Salah satunya? Dengan membaca Al Quran.

Seorang ustadzah pernah menyampaikan sebuah wejangan, “Semakin padat aktivitas yang kamu lakukan maka harus diiringi tilawah yang lebih banyak pula. Karena aktivitas membaca Al Quran akan memberikan energi yang besar untuk ruh.”

Meskipun jasad kita lelah dengan padatnya aktivitas, kalau ruh kita memiliki asupan energi yang cukup, maka kita takkan mudah mengeluh dan berputus asa. Kita masih bisa bersemangat.

Selain itu, membaca Al Quran itu banyak manfaatnya. Allah akan menyempurnakan pahala untuk orang-orang yang selalu membaca Al Qur’an.

"Sesungguhnya orang-orang yang selalu membaca kitab Allah dan mendirikan shalat dan menafkahkan sebahagian dari rezki yang Kami anugerahkan kepada mereka dengan diam-diam dan terang-terangan, mereka itu mengharapkan perniagaan yang tidak akan merugi. Agar Allah menyempurnakan kepada mereka pahala mereka dan menambah kepada mereka dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Mensyukuri." (Qs. Fathir: 29 - 30)

Bahkan hanya sekedar mendengarkan orang yang membaca Al Quran pun Allah menjanjikan limpahan rahmat-Nya. Sebagaimana yang termaktub pada Quran surat Al-A’raf ayat 204

“Dan apabila dibacakan Al Qur'an, maka dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat rahmat.”


Lalu, apalagi yang telah menghalangimu untuk memperbanyak membaca Al quran di tiap harinya? Karena belum bisa memahami makna yang terkandung di dalamnya? Itu bukan alasan yang tepat. Sekali lagi, membaca Al Quran merupakan asupan makanan yang bergizi bagi ruh kita. Meskipun pemahaman kita terhadap makna yang terkandung di dalamnya belum sempurna, kita harus tetap banyak mengkonsumsinya apalagi di saat aktivitas yang padat merayap. Maka, mengurangi jumlah takarannya tentu membuat ruh kita kekurangan energi.

13 Juli 2014

CANGKIR 14 : MENGGENGAM AGAMA

“Permasalahannya adalah agama hanya kita bawa saat di masjid dan mushola saja. Saat kita pergi ke tempat yang lain, agama seakan-akan kita tinggal dan disimpan di loker.”

Begitulah makna yang kutangkap di acara talkshow sore ini.

Ya, masalah bangsa kita sekarang ialah adanya degradasi moral. Karakter anak bangsa sekarang seakan dalam posisi abu-abu, tak mampu membedakan apa yang baik dan mana yang buruk. Jelas, selama ini, penilaian baik-buruknya sesuatu hanyalah mendasar pada apa yang masyarakat umum anggap baik dan buruk. Nah, kalau hal buruk yang dilakukan terus-menerus kemudian dianggap hal wajar, maka masyarakat pun akan mengkategorikan hal tersebut sebagai hal yang biasa saja. Tak lagi dianggap buruk. Maka muncullah teori bahwa, segala sesuatu itu relatif, tergantung dari sisi mana kamu melihatnya.

Padahal secara jelas, Allah telah memberikan patokan tentang apa yang baik dan apa yang  buruk. Mau dilihat dari sisi manapun, jika Allah telah menetapkan bahwa hal itu buruk, ya, berarti buruk. Tidak bisa diganggu gugat. Jika, patokan ini mau kita terapkan dengan baik, saya jamin tak akan terjadi degradasi moral di lingkungan masyarakat.

Coba bayangkan, jika agama selalu kita genggam dengan erat di setiap aktivitas kita. Tentu, orang-orang akan diadili sesuai dengan kesalahannya, takkan ada lagi korupsi, semuanya tertib dan aman.
Saya pun teringat dengan perkataan Imam Syafii, beliau pernah berkata, “seorang auditor haruslah hafidzh dan memiliki tingkatan ibadah yaumiah yang bagus.” Kalau aturan ini diterapkan di Indonesia sekarang, mungkin stok auditor sangat sedikit, kali ya. Namun, saya yakin yang sedikit itu lebih kuat dan mampu membawa Indonesia kita lebih baik.

Kembali ke topik moralitas. Saya pun teringat salah satu ayat Al qur’an, “ Sesungguhnya shalat itu mencegah perbuatan keji dan munkar.” Lalu, ada orang yang yang protes, ada juga yang sholat tapi ia tetap melakukan keburukan, lalu apa gunanya sholat?


Manusia memang memiliki dua sisi, kebaikan dan keburukan. Untuk itulah, agama diturunkan agar mereka lebih condong pada kebaikan. Menurut saya, ketika ada orang yang sholat atpi masih melakukan keburukan, tentu, kesalahan ini tidak pada, ia melakukan shalat atau tidak. Tapi tentang pencapaian dari shalatnya itu, berkualitas ataukah tidak. Apakah selama ini shalatnya hanya sebuah  ritual saja tanpa tahu esensi dari setiap bacaannya? Hanya sekedar penggugur kewajiban saja. Ketika seseorang memiliki kualitas ibadah yang baik, saya yakin, ia pasti memiliki kepribadian yang lebih baik. Namun, terlepas dari itu semua, manusia tetaplah manusia, mereka bukanlah malaikat yang tanpa cela.

12 Juli 2014

CANGKIR 13 : LELAH

Di tulisanku yang kesekian ini, kawan, aku ingin berkirim tanya padamu.

Pernahkah kau merasa begitu banyak deadline yang tercecer memenuhi harimu?

Pernahkah kau merasa peluh seakan terasa penuh membasahi otakmu?

Pernahkah kau merasa nafasmu begitu sesak?

Pernahkah kau begitu ingin menghilang sejenak, hengkang dari kenyataan?

Pernahkah kau merasa sendiri, tiada berkawan, padahal berada di tengah kerumunan?

Pernahkah?

Aku pernah, kawan, pernah mengalaminya. Kau tahu, mungkin tak hanya sekali, barang dua atau tiga kali, pernah kumengalaminya.

Kawan, kau tahu, kapan aku mengalami hal-hal ini? Ya, kala lelah berhasil mempengaruhi pikiranku untuk menyerah. Kala imanku telah kalah oleh egoku saja. Dan saat itulah, setan pun berbisik riang, merasa menang.

Kawan, di saat seperti ini, apa yang paling kau inginkan? Melepaskan segala yang telah kau jalani, mencukupkan semuanya? Mematikan rasamu agar tak peduli lagi?

Jika ingin menghentikan langkah untuk beristirahat, maka silahkan saja. Namun, kawan yang lain pun akan berteriak lantang, mengingatkan, “Bukan saatnya kita beristirahat. Peristirahatan nyata hanyalah saat kau berada ditimbunan tanah.”

Ah, dia benar kawan. Bukan saatnya kita beristirahat.

Kau tahu, Kawan? Jika Rasulullah menyerah begitu saja setelah dihujani batu dan kotoran, tentu Islam takkan tersebar luas ke penjuru dunia. Jika Rasulullah menyerah begitu saja setelah diludahi dan dihina mungkin kita takkan bisa menikmati indahnya 30 juz lafal Al-Quran.

Jika begitu mudahnya menyerah kala lelah menerpa, mungkin takkan kita kenal lagi Palestina. Jika begitu mudahnya menyerah kala lelah menyapa, maka takkan kita dengar lagi kekokohan Al Aqsa. Sungguh, kelelahan itu hanya akan menjadikan kita kalah.

Jika kau pernah merasa lelah, aku pun juga. Jika kau begitu ingin hengkang dari perjuangan ini, aku pun pernah merasa. Tapi, ingatlah, selalu ada upaya untuk mengalahkan lelah, jika kita mau menjalani segalanya, Lillah....


Kamis, 10 Juli 2014

SKENARIO

DAFTAR PENERIMA DANA PENDIDIKAN 2014
............
04. RATRI PRAMESWARI                 HUKUM/2012
............

“Den, benar katamu, aku lolos! Akhirnya....”

Ratri berbicara lewat handphone jadul yang kini tertempel di telinga kirinya. Semburat kebahagiaan memancar dari wajah gadis itu.

***

Delapan jam yang lalu.

Detakan jarum jam tak mampu berpacu dalam irama ketukan tuts keyboard. Sudah sepuluh menit berlalu. Tak banyak waktu yang tersisa. Denra harus bergerak cepat. Ia harus segera memperbaiki kembali data-data yang tersimpan dalam file berkapasitas 78,54 kb. Ya, memperbaiki, agaknya lebih pantas digunakan dalam aktivitas meretas.

ENTER!

Proses loading agak melambat. Tak ada waktu lagi. Denra mulai menggigit ujung kukunya. Beberapa detik kemudian, layar laptop menyampaikan pesan.

“ ANDA BERHASIL!”

***

Terdengar suara Ratri dari headset yang terhubung handphone dan kini tertancap nyaman di kedua telinga Denra. Suaranya menandakan kebahagiaan.

“Syukurlah....” Denra hanya menjawab singkat.

“Terima kasih kamu telah melakukannya untukku...”

“Maksudmu?” Denra mengernyitkan dahi.

“Aku tahu, kamu telah berusaha keras semalam. Menyisipkan namaku di daftar itu.”

“Ba...gai...mana k...ka...kau tahu?” Denra tergagap. Inilah kelemahannya. Ia sulit menyembunyikan rasa gugup.

“Tentu, karena aku telah merancang semuanya dari awal. Kamu telah terperangkap masuk dalam arena permainanku.”

Denra berpikir keras. Ia mencoba memasang kepingan puzzle yang kini berserakan di memori otaknya.

“SIALL!!!!!”[]




Bagaimana Jika Hati?

Menjelang ujian skripsi, aku pun mendadak sakit. Sepertinya inilah puncak kelelahanku. Selama sebulan ini aku memang merasa tak enak badan. Aku sering merasa sakit kepala, kadang mual, kadang merasa lemas. Namun, kondisi ini belum mampu mematahkanku untuk beraktivitas normal. Terlebih aku harus bolak-balik ke Solo dan Pati dua minggu sekali.

Kelelahan itu seakan menumpuk hingga dua hari sebelum ujian skripsi. Aku mengalami sakit kepala yang hebat. Aku demam. Aku pun memutuskan untuk beristirahat sembari berharap sakit kepalaku itu menghilang. Namun, apalah daya, sakit itu pun semakin menjadi. Tapi aku tetap bersyukur karena Allah masih memberikanku kesembuhan selama proses ujian skripsi.

Seusai ujian, sakit kepalaku kambuh lagi. Meskipun tak sesakit sebelumnya, demamku justru semakin meninggi. Lidah pun hambar, hanya beberapa suap yangberhasil  kumakan. Sulit bagiku membedakan rasa. Semua makanan yang masuk ke  mulut terasa tak enak.

Kala badan sakit dan lidah ikut terganggu, inilah akibatnya, susah untuk membedakan rasa. Aku pun mulai berfikir. Ah, ini baru lidah saja yang sakit.  Bagaimana kalau hati yang sakit? Dalam sebuah hadis sudah jelas disebutkan bahwa hati itu adalah raja, jika ia baik maka baiklah seluruh tubuh. Jika ia sakit, rusaklah seluruh tubuh.

Maka coba bayangkan... ketika indera pengecap kita sakit, akhirnya kita susah untuk membedakan rasa asin, manis, asam, dan pahit. Nah, bagaimana jika hati? Hati nurani merupakan pusat fatwa, yang akan memberikan petunjuk perihal baik dan buruk. Hati yang sakit tentu tak akan mampu melakukan filter ini. Kita tak mampu membedakan hal yang baik dan yang buruk. Posisi inilah yang akan membawa kita pada kondisi semakin futur dan dekat dengan hal-hal buruk.

Saat lidah yang sakit, kita tak akan nafsu makan. Kita justru malas memakan makanan yang seharusnya baik bagi tubuh kita. Sama halnya dengan hati yang sakit. Kita pasti malas untuk melakukan ibadah yang seharusnya bisa menjadi obat kita.

Semarang, 24 April 2014

*catatan ini ditulis dalam penantian menuju hari wisuda

CANGKIR 12 : DONASI UNTUK ISRAEL?

Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangi kamu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Dan barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang yang zalim. (Qs. Al Mumtahanah : 9)

Beberapa hari ini, nurani kita mulai diketuk kembali dengan berita penyerangan Israel terhadap Palestina. Ya, bumi Palestina berguncang kembali. Media yang semula disibukkan dengan euforia piala dunia dan pemilu Indonesia, mau tak mau harus memberikan sedikit celah untuk menyiarkan tindakan kedzaliman ini.
Memang, selama beberapa bulan terakhir, media kita tampak lengang dari berita kemanusiaan yang terjadi di palestina. Padahal, perjuangan mereka untuk mempertahankan tanah suci seluruh umat Islam ini sungguh tak pernah berjeda. Barangkali, inilah cara Allah untuk mengingatkan kita bahwa seharusnya tidak lengah dan berdiam diri selama ini.

Maka, dalam semangat membela saudara seiman kita, beberapa lembaga kemanusiaan pun mengajak kita untuk memberikan bantuan berupa doa maupun harta. Sebagaimana yang telah dipesankan oleh Rasulullah terhadap kita, perangilah orang-orang musyrik itu dengan harta, jiwa dan lisan kalian. Namun, ada pertanyaan yang mulai mengusik hati saya, berapa banyak yang telah saya donasikan untuk Palestina dan muslim lainnya selama ini? Jangan-jangan, saya hanya teringat untuk memberikan donasi di saat seperti ini saja. Kala berita tentang penindasan kaum muslim memenuhi kolom-kolom media.

Saya pun teringat tentang beberapa file yang terserak dalam salah satu folder. File ini berisi tentang data-data produk yang diboikot oleh ulama. Ya, beberapa ulama dan tokoh Islam kenamaan seperti Dr. Yusuf Qardhawi, Dr. Abdul Satar Fathullah Said (Dosen Syariah Universitas Al Azhar), Dr. Naser Farid Wasil (mantan Mufti Mesir), Dr. Muhammad Imarah (Pemikir Muslim Dunia), Dr. Abdul Hamid Ghazali (pakar ekonomi dan politik Islam) telah menyatakan pemboikotannya terhadap produk perusahaan yang diindikasikan menjadi penyumbang dana untuk Israel. Yang mengejutkan adalah beberapa perusahaan ini telah menguasai pasar kita, menjadi leader. Produk-produknya pun lekat pada diri kita, mulai dari kosmetik, makanan hingga barang elektronik. Bahkan tak jarang dari kita yang dengan bangga mengkonsumsinya. Astaghfirullah.

Sungguh, saya bahkan Anda semua, umat muslim, telah terlena. Kita semua tanpa sadar telah menjadi donatur untuk Israel melalui produk-produk yang telah kita beli. Kita merasa lebih keren jika nongkrong di restoran junk food—penyaji hamburger, pizza, dan fried chicken kenamaan—dibanding menikmati makanan di warung makan penyaji masakan Indonesia. Sungguh, kita lebih suka mengenakan brand internasional dibanding buatan asli Indonesia. Sungguh, kita lebih suka minum minuman bersoda dibandingkan air putih yang lebih menyehatkan. Ah, tapi air putih pun tak semuanya produksi Indonesia.

Sekarang, sangat penting bagi kita semua untuk memilah kembali, produk-produk apa saja yang semestinya kita beli. Mari, kita segera move on produk-produk yang lebih save. Jangan sampai, lembaran rupiah yang kita gunakan untuk memberi donasi pada Israel lebih besar dibandingkan yang telah kita berikan untuk Palestina.


CANGKIR 11 : MENJAGA KEISTIQOMAHAN

Sebelas hari yang lalu, kita telah merancang betul-betul, ibadah-ibadah apa yang harus kita capai selama bulan ramadan. Kita telah merancang dengan sempurna, ingin menjadi seperti apa diri kita saat ramadan berakhir nanti. Lalu, memasuki sepuluh hari kedua bulan ramadan ini, apa kabar dengan rancangan ibadah yang telah kita susun? Apakah kita sudah menjalaninya dengan baik ataukah hanya menjadi sebuah catatan penghias dinding kita? Pertanyaan ini sungguh menjadi alarm besar bagi saya.

Memasuki sepuluh hari kedua ini, sungguh, kita perlu evaluasi secara besar-besaran amalan-amalan yang telah kita jalani. Apakah selama sepuluh hari pertama kita telah menjaga keistiqomahan dalam beribadah? Apakah ada ibadah yang terlewatkan atau belum terlaksana hingga hari ini? Padahal, awal ramadan seharusnya menjadi masa menggebunya sebuah semangat. Jika di sepuluh hari pertama saja kita sudah terseok-seok untuk menjaga sebuah keistiqomahan, maka bagaimana kita bisa bertahan sampai akhir nanti?


Entah seperti apa kadar keistiqomahan kita yang tlah lalu, di titik awal pintu gerbang kedua ini, hendaknya kita perlu kembali mematut diri. Merapikan iman yang sempat terserak. Mengisi penuh tangki-tangki semangat kita. Sungguh, menjaga sebuah keistiqomahan itu mahal harganya. Dan tak ada salahnya, untuk selalu menyematkan doa, agar Allah senantiasa menjaga kita dalam keistiqomahan iman Islam.

CANGKIR 10 : MELARUTKAN PRASANGKA

Konon jalinan persahabatan itu laksana rangkaian kata, kadang ia pun butuh jeda lalu terangkaikan dengan kata-kata lainnya.

Jeda, kadang sulit kupahami keterjedaan di antara kita. Kala jeda menyematkan ketersesakan rindu ingin bertemu, aku justru memahami sebaliknya. Jeda yang terlampau lama di antara kita pun lamat-lamat telah mengikis kuatnya jalinan ikatan. Entahlah, apa ini hanya sebuah egoku saja. Namun, ketiadaan pertemuan apalagi pertukaran kesah telah membuatku berprasangka, kita sudah tak berada di frekuensi yang sama.
Semakin terjeda, semakin tertumpuk prasangka yang akhirnya membuncah di dada. Ada rasa sesak yang menyeruak kala sang waktu sekedar mempertemukan kita. Ah, aku malas bertemu denganmu. Ada rasa sakit yang tiba-tiba menghenyak, sepertinya pun kau tak lagi ingin merangkai diriku. Aku tahu itu tak pernah terucap sekalipun olehmu, tapi bagiku, keterjedaan yang terlampau lama membuat prasangkaku berucap begitu.

Aku pun tak lagi paham. Apalagi artinya aku bagimu. Prasangkaku, kau pun tetap bisa berdiri tanpa aku membersamaimu. Kita telah berada dalam rangkaian baris yang berbeda bahkan mungkin terpaut pada berlembar-lembar halaman. Begitulah prasangkaku.

Ah, prasangka-prasangka ini semakin memenuhi pikiranku. Mungkin, karena lemahnya imanku. Barangkali memang benar, tak sekedar jeda, frekuensi kita pun berbeda. Ah, aku pun semakin meracau, kacau, dalam prasangkaanku padamu.

Dalam detakan waktu yang mengiringi kesendirianku, kuratapi keterjedaan ini. Hingga sampai di sebenar-benarnya titik keterpisahan kita, sang waktu pun mempertemukan kita kembali untuk bertukar kesah.  

“Nikmatilah pertemuan ini!” Kata sang waktu.

Kuhanya mengangguk patuh meskipun tetap ada keterberatan hati untuk bertemu denganmu. Tapi, celoteh kesah yang mengalir dari bibir kita, seakan telah menguatkan kembali ikatan jalinan yang sempat tergerogoti. Dalam pertemuan ini, sebuah pertemuan yang terjadi di titik keterpisahan kita, kutelah larutkan semua prasangkaku padamu.

Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebahagian kamu menggunjing sebahagian yang lain. (Qs. Al Hujurat :12)


CANGKIR 09 : KARENA MAWAR BERDURI

Beberapa hari ini aku pun teringat tentang suatu scene dalam salah satu judul FTV jaman dulu. Adegannya tentang seorang ibu dan anak perempuannya di pekarangan rumah yang dihiasi bunga mawar.

“Bunda ingin kamu tumbuh seperti mawar-mawar ini,” kata sang bunda membuka percakapan.

“Kenapa, Bun?”

“Lihatlah, betapa cantiknya mawar ini hingga membuat orang ingin memetiknya. Tapi mawar ini punya duri di batangnya sehingga untuk memetik bunganya harus hati-hati nggak boleh sembarangan.”

“Lalu? Apa hubungannya denganku?”

“Bunda ingin kamu tumbuh seperti mawar ini, cantik, namun tidak sembarang orang bisa memetiknya. Hanya laki-laki yang benar-benar baiklah yang boleh memiliki anak Bunda yang cantik ini.”

Entahlah, FTV ini telah berhasil memasukkan energi magis padaku saat itu. Waktu menonton FTV ini, aku pun berpikir, keren banget filosofi dari bunga mawar ini, ya! Dulu, sebelum aku menonton FTV ini, pandanganku terhadap mawar sempat teracuni kala membaca sebuah puisi berjudul “Mawar Cantik Tapi Berduri”. Puisi itu menceritakan tentang sosok yang kelihatannya cantik tapi justru suka menyakiti hati orang lain.  Nah, begitu nonton film ini, jadi bisa melihat sisi lain yang begitu indah dari sosok bunga mawar.

Sejak itulah, filosofi bunga mawar ini pun memberikan inspirasi baru bagi hidupku. Tumbuh sebagai bunga mawar pun menjadi impian. Sebuah impian yang memantikku untuk mempercantik hati, menjadi cerdas mempesona, dan yang terpenting tak mudah terlena dengan lawan jenis apalagi gonta-ganti pacar.

Namun, filosofi bunga mawar itu pun mulai terlupakan, sejak lama. Bahkan, jika aku ingat-ingat betul, sebenarnya aku hanya sempat menjadikan diriku sebagai bunga mawar namun menanggalkan duri yang seharusnya menjadi pelindungku. Sesungguhnya aku belum paham betul, duri apa yang bisa melindungiku.

Dan setelah perjalanan panjang yang kulalui, tanpa sadar aku telah mengenakan duri pelindungku. Kau tahu, duri apa yang menjadi perisaiku? Ialah duri keimanan yang terwujud dalam keyakinanku untuk mengenakan hijab. Ya, inilah perisai utamaku yang nantinya mampu membawaku mekar menjadi sekuntum mawar. Mawar yang merekah dengan cantiknya, namun tak mudah dipetik oleh seseorang.


CANGKIR 08 : ALLAH TAKKAN MUDAH PERCAYA IMANMU

Sering kali saya mendengar curhatan dari adik-adik yang baru saja memutuskan untuk berubah. Ya,  berubah menjadi superwomen. Eeiits, bukan, bukan berubah layaknya cat woman ataupun sosok pahlawan super ala film hollywood. Superwomen di sini ialah mereka yang memutuskan untuk menyempurnakan diri sebagai wanita muslimah, berhijab!

Ya, superwomen ini mengeluhkan tentang sikap penolakan keluarganya saat mereka memutuskan untuk mengubah penampilan. Keluarga mereka seakan menaruh curiga, jangan-jangan anakku masuk jaringan teroris, jangan-jangan ia ikut NII, islam ekstrim, dan sebagainya. Saya rasa ini hal wajar bagi mereka yang tumbuh di keluarga awam. Apalagi, sebagai orang tua, pasti sangat mengkhawatirkan anak-anaknya terjerumus ke hal-hal yang tidak baik. Terlebih, media sering memborbardir masyarakat habis-habisan tentang isu golongan islam garis keras dan fanatik. (Ah, sampai sekarang pun saya masih bingung, definisi islam garis keras itu bagaimana?)

Saya pribadi pun pernah mengalaminya, dulu, saat pertama kali mencoba menyempurnakan hijab. Saya ingat sekali, saat itu, lagi hebohnya berita tentang NII. Jelas sekali, tante saya pun ikutan heboh dengan penampilan saya yang tiba-tiba memakai jilbab lebar. Tante saya pun mulai menginterogasi, “Kamu ikut jaringan apa?” Glekkk.

Lain halnya dengan ayah saya. Kebetulan orang tua saya punya toko kelontong. Nah, kalau saya di rumah, pastinya saya bantu-bantu di toko. Otomatislah, karena pembeli itu dari berbagai kalangan, saya pun harus tetap mengenakan hijab. Suatu ketika, saya posisinya sedang tidak mengenakan kerudung saat ada seorang pembeli yang datang ke toko. Otomatis, saya pun mencari kerudung dahulu baru keluar melayani pembeli.

Maka kata ayah saya, “Ngapain tho, pake jilbab, lha wong di rumah kok. Itu lho pembelinya udah nunggu kelamaan.”

Gleekkk. Saya pun hanya terdiam lalu nyelonong pergi.

Yap, saat kita sudah memutuskan untuk menyempurnakan hijab, pasti akan ada banyak ujian berdatangan. Adakalanya orang-orang sekitar akan menunjukkan sikap kontra dari perubahan kita ini. Tapi... hei, bukankah Allah telah mengingatkan kita bahwa Dia takkan mudah percaya dengan perubahan kita begitu saja. Jadi, saat kamu memutuskan untuk berubah dalam kebaikan, maka Allah akan memberikanmu ujian untuk mengetahui apakah kamu benar-benar berniat untuk berubah.

Saat orang-orang sekitarmu memprotes ini-itu atas perubahan penampilanmu, maka peganglah dua hal, kepercayaan Allah dan keluarga (terutama orang tua) kepadamu. Memegang kepercayaan orang tua dengan menunjukkan bahwa perubahan penampilanmu itu pun membawamu pada perubahan sikap yang lebih baik, misal jadi rajin bantu orang tua, jadi lebih menghormati ortu, jadi lebih sayang kakak atau adik, dan sebagainya. Selain itu, tunjukkan bahwa penampilan barumu itu terlihat nyaman buatmu dan berikan kesan bahwa berjilbab itu nggak ribet. Pasti, mereka takkan lagi menaruh curiga terhadapmu atau men-judge-mu jadi lelet karena harus memakai jilbab terlebih dahulu. Dan, yang terpenting adalah berikan pemahaman yang baik dengan bahasa yang bisa mereka terima. Jangan latah menggunakan dalil. Tidak semua orang bisa langsung menerima dalil-dalil yang kamu kemukakan.


Kepercayaan selanjutnya ialah kepercayaan Allah. Kepercayaan ini akan kamu dapat ketika kamu masih bisa istiqomah dalam mengenakan jilbab. Tak mudah goyah dengan penolakan yang ditujukan kepadamu. Insya Allah, dengan memegang kedua kepercayaan ini, orang-orang di sekitarmu lamat-lamat akan mendukung perubahanmu ini. Ingatlah, Allah hanya akan menunjukkan jalan-Nya bagi orang yang bersungguh-sungguh mencari ridlonya dan kesempurnaan pahala itu hanya diberikan kepada orang yang bersabar.

CANGKIR 07 : KESETIAAN

Sebuah payung tergeletak di sebelah almari tua, di antara tumpukan barang-barang. Payung berwarna merah dengan motif bunga besar-besar. Ia memang tak secantik dulu, tapi masih berfungsi dengan baik.

Aku pun teringat bagaimana pertama kali sang waktu mempertemukanku dengan payung ini. Sewaktu itu, kala hujan begitu seringnya membasahi desa kami tanpa pemberitahuan, meskipun pagi begitu terik takkan ada yang menduga hujan tiba-tiba mengubah suasana siang hari. Kondisi inilah yang akhirnya menggiringku untuk membawa payung besar setiap kali berangkat ke sekolah. Ya, sedia payung sebelum hujan.

Mungkin karena itulah, suatu ketika ibuku membelikan sebuah payung lipat seharga sebelas ribu rupiah. Aku masih ingat, kala itu aku masih duduk di kelas 5 SD. Saat menerima payung itu, ada secercah rasa kecewa yang menyeruak. Aku tak suka motifnya. Merah tua dan motif bunga yang besar-besar hampir menutupi seluruh bagiannya. Sempat aku meminta ibu untuk menukarnya dengan motif yang lain. Namun, ibu meyakinkan bahwa motif itu sangat bagus. Karena tak ingin membuat ibu kecewa, kuterima saja payung itu walaupun tak begitu suka.

Semenjak itulah, payung merah bermotif bunga menemaniku setiap harinya. Meski terik ataupun hujan, ia selalu tersimpan di dalam tas. Bahkan hingga aku memasuki dunia perkuliahan, ia masih setia, duduk manis di dalam tas. Ah, betapa setianya ia. Pernah kumembeli payung baru, tak lama kemudian hilang karena tertinggal di angkot dan yang lain rusak akibat derasnya hujan. Namun, payungku yang satu ini tetap setia meskipun harus sedikit bersabar untuk memakainya.


Terkadang, hal yang kita remehkan atau tak begitu kita sukai nyatanya bisa memberikan sesuatu yang melebihi apa yang kita bayangkan. Bahkan, ia pun bisa menawarkan sebuah kesetiaan.

CANGKIR 06 : MENELISIK KEDALUWARSA

Kemarin pagi, saya merapikan kembali barang-barang dagangan yang terpajang di Toko. Beberapa barang yang berdebu pun harus kubersihkan agar mengkilap kembali. Menjaga kualitas produk yang tersaji untuk konsumen merupakan hal yang penting. Oleh karena itu, tak lupa saya mengecek beberapa barang, barangkali ada yang telah kedaluwarsa.

Tanggal kedaluawarsa merupakan hal penting yang sering dilupakan. Bahkan banyak sekali para konsumen yang tidak mengindahkan tanggal ini. Selagi barang masih terlihat bagus dan masih bisa digunakan maka dianggap masih oke. Padahal menggunakan atau mengkonsumsi barang yang sudah kedaluwarsa itu sangat tidak baik bagi konsumen karena bisa menimbulkan berbagai kerugian semisal keracunan. Namun tak banyak dari masyarakat kita yang sadar akan hal ini.

Tanggal kedaluawarsa biasa kita temukan di badan kemasan barang. Biasanya disimbolkan dengan EXP date (ED) atau Before (B). Setidaknya akan tercantum bulan dan tahun kedaluwarsa. Nah, melihat tanggal ini, jangan sampai tertukar dengan simbol MFD atau manufacturing date. Ini merupakan simbol dari tanggal produksi. Sementara batch number merupakan kode produksi yang menyiratkan tempat pembuatan barang.

Kejanggalan yang saya temukan saat menelisik tanggal kedaluwarsa ini ialah, sulitnya untuk mencari kode yang menunjukkan tanggal kedaluwarsa. Umumnya, exp date tercantum di badan belakang kemasan. Namun ada pula yang meletakkannya di tutup bawah atau bagian dalam kardus pembungkus. Beberapa produk banyak yang tidak terbaca tanggal kedaluwarsanya, entah karena luntur, lokasinya yang menimpa tulisan-tulisan yang tertera di wadahnya, atau warna tulisan yang senada dengan warna dasar kemasan.

Selain kejanggalan tersebut, saya pun menemukan beberapa produk yang ternyata tidak menyertakan secara lengkap tanggal kedaluwarsanya. Di produk tersebut hanya tertera batch number atau manufacturing date saja. Sebagai konsumen awam, bagaimana cara menentukan tanggal kedaluawarsanya? Ini sangat menyulitkan konsumen tentunya. Padahal masing-masing produk memiliki daya tahan yang berbeda-beda, ada yang hanya 2 tahun, 3 tahun, atau 5 tahun.


Melihat berbagi kondisi tersebut, saya pribadi menyimpulkan bahwa, konsumen tidak mendapatkan informasi yang layak mengenai tanggal kedaluwarsa. Padahal ini merupakan hak konsumen karena menyangkut keselamatan diri mereka. Rasanya, beberapa perusahaan belum secara sadar untuk menempatkan hak-hak konsumen sebagaimana mestinya. Keteledoran produsen ini pun didukung dengan kurangnya tingkat kesadaran masyarakat tentang pentingnya melihat tanggal kedaluwarsa sebelum membeli barang. 

CANGKIR 05 : MENJERNIHKAN PRASANGKA

Suatu ketika seorang teman berkeluh kesah, “Kadang aku merasa iri dengan si fulan. Dia itu jarang sekali sholat, tapi kok selalu beruntung, ya? Lihat aja nilai-nilainya selalu bagus, padahal ya... tahulah dia kayak gimana.”

Mendengar keluhannya, aku hanya bisa terdiam. Sejenak terpikir olehku, kita tak pernah tahu seperti apa sesungguhnya usahanya selama ini, bukan? Barangkali ia lebih giat belajar saat UTS maupun UAS sehingga hasilnya pun bisa mendulang nilai-nilai tugas. Namun, entah, bukan itulah yang akhirnya terucap dariku.

“Di kehidupan dunia ini, Allah tak pernah memilah dalam memberikan rahmat,” ucapku.

Ya! Allah tak memilah-milah dalam membagikan rezeki. Semua makhluk yang Allah ciptakan, semuanya mendapatkan rezekinya masing-masing. Di dunia ini, semua makhluk hidup bisa menghirup udara secara bebas, mengolah sumber daya alam, dan lain sebagainya. Baik muslim dan non muslim bahkan seorang atheis sekalipun diberikan Allah kesempatan untuk menikmati fasilitas yang ada di dunia ini. Seorang muslim yang kaya pun ada, non muslim bahkan atheis yang hidup kaya raya pun ada.

Coba fikirkan, jika Allah membuat peraturan di dunia ini, “Hanya orang Muslim saja yang boleh menikmati segala fasilitas bumi.” Maka, apa yang akan terjadi? Tentunya semua orang di dunia ini akan masuk Islam. Terang saja, kalau tak masuk Islam tak bisa bertahan hidup. Lalu, apa gunanya lagi kita berdakwah? Namun, terlepas dari itu, aku sendiri percaya bahwa tetap ada bedanya, rezeki yang Allah berikan kepada orang beriman dan tidak beriman, yakni tentang nilai keberkahan yang terkandung pada rezeki tersebut.
Nah, kembali pada kegelisahan seorang teman tadi, mengingatkanku akan sebuah kisah.

Dulu, berdirilah dua kerajaan, sebut saja kerajaan A dan kerajaan B. Wilayah kerajaan tersebut dibatasi oleh sebuah sungai yang mengalir di antara keduanya. Kerajaan A dipimpin oleh seorang raja yang alim, bijaksana, serta disayangi dan dihormati rakyatnya. Sementara itu, kerajaan B dipimpin oleh seorang raja yang sangat dzalim.

Suatu ketika, kedua raja ini mengidap penyakit yang sama dan sangat aneh. Penyakit ini belum pernah dijumpai sebelumnya. Atas saran seorang tabib kenamaan, penyakit kedua raja itu hanya bisa diobati oleh ikan yang hidup di sungai. Sungai yang dimaksud ialah sungai yang menjadi perbatasan kedua wilayah kerajaan tersebut. Namun, ikan tersebut sangat sulit untuk ditangkap, ia hanya muncul di waktu-waktu tertentu.

Maka berangkatlah utusan dari kedua kerajaan, mereka berjaga siang-malam selama berhari-hari lamanya. Hingga suatu ketika muncullah seekor ikan di permukaan dan beruntunglah utusan dari kerajaan B yang berhasil menangkap ikan tersebut. Sementara, utusan dari kerajaan A pulang dengan tangan kosong.

Kemalangan yang menimpa utusan kerajaan A menyebabkan raja yang sangat disayangi oleh rakyatnya itu pun meninggal dunia. Sementara keberuntungan yang diperoleh utusan kerajaan B membuat raja dzalim itu pun akhirnya sembuh.

Melihat kejadian tersebut, para malaikat pun berbondong-bondong menghadap Allah SWT. Mereka hendak memprotes, mengapa Allah menetapkan ikan tersebut kepada raja dzalim bukan raja yang alim. Menanggapi protes tersebut, Allah pun berfirman, “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui. Sesungguhnya, raja yang alim itu suatu ketika pernah melakukan hal yang tak Kusukai. Maka, Aku pun membalas perbuatannya itu dengan tidak menyembuhkan penyakitnya. Dengan begitu, ia pun menghadap-Ku dalam kondisi yang terbaik tanpa ada cacat.”

“Sementara itu, raja kerajaan B, meskipun ia dzalim, ia pernah sekali melakukan kebaikan. Sangat adil, membalas kebaikannya itu dengan memberikan ia kesembuhan dari penyakitnya. Jadi, saat ia menghadap-Ku nanti, hanya dosa-dosanya saja yang menyertainya.”


Allahu Akbar! Kita takkan pernah tahu rahasia dibalik nikmat yang Allah berikan kepada hamba-hambanya di dunia ini. Jadi tak perlulah kita menimang-nimang keluh kesah dan prasangka buruk atas keputusan Allah. Tak perlulah merasa iri atas nikmat yang diperoleh orang lain. Yang perlu kita perhatikan ialah kesabaran upaya dan doa yang akan menghantarkan kita pada kenikmatan yang penuh berkah. 

Kamis, 03 Juli 2014

CANGKIR 04 : MENIMBUN, BOLEHKAH?

Pada edisi cangkir sebelumnya, saya telah membahas tentang fenomena kelangkaan salah satu merek minuman kemasan. Nah, dalam kajian ekonomi konvensional, kelangkaan disebabkan oleh sumber daya alam yang terbatas sehingga tidak mampu memenuhi keinginan manusia yang tidak terbatas. Dalam kasus yang terjadi pada merek Q, kelangkaan diakibatkan oleh adanya perilaku oknum yang mencoba menahan peredaan barang di masyarakat. Ini semacam upaya penimbunan barang dengan tujuan memperoleh keuntungan pribadi yang lebih besar. Sebenarnya, apakah perilaku ini diperbolehkan? Bukankah penjual memiliki hak untuk menentukan kapan akan menjual barang?

Ihtikar, ihtiar yang benar?

Dalam pandangan Islam, sikap menimbun barang ini dinamakan ihtikar. Menurut Imam Ghazali, ihtikar ialah penyimpanan barang dagangan oleh penjual makanan untuk menunggu melonjaknya harga dan penjualannya ketika harga melonjak. Sementara itu, para ulama Mazhab Maliki mendefinisikannya dengan lebih luas, yakni penyimpanan barang oleh produsen: baik makanan, pakaian, dan segala barang yang bisa merusak pasar. Berdasarkan kedua definisi tersebut, kasus kelangkaan kemasan minuman merek Q ini jelas tergolong pada tindakan ihtikar.

Para ulama Mazhab Maliki memberikan penekanan pada pendefinisian ihtikar dengan “bisa merusak pasar”. Jika tindakan penyimpanan barang ini tidak dimaksudkan untuk mengganggu peredaran barang dipasaran, tentu hal tersebut tidaklah termasuk tindakan ihtikar. Ketika penyimpanan barang tersebut telah merusak pasar, terlihat jelas bahwa dampak dari tindakan ihtikar ini akhirnya menimbulkan kekacauan dalam sistem jual beli yang terjadi di pasar. Ketika sistem perdagangan tidak berjalan dengan semestinya, tentunya hal ini akan merugikan pihak-pihak tertentu sehingga memunculkan kemudharatan dalam perilaku ihtikar ini. kalau kemudharatan yang dirasakan oleh masyarakat umum lebih besar dibanding kemanfaatannya maka suatu tindakan secara jelas dilarang oleh syariat.

Rasulullah saw telah berkali-kali mengingatkan umatnya mengenai tindakan ihtikar ini. Rasulullah sendiri pernah bersabda, “Siapa yang merusak harga pasar sehingga harga tersebut melonjak tajam, maka Allah akan menempatkannya di dalam neraka pada hari kiamat. (HR. At-Tabrani dari Ma’qil bin Yasar). Dalam hadis lain yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dari Abu Hurairah, Rasulullah secara jelas menyebutkan bahwa ihtikar adalah perkara yang salah.

Ketika Rasulullah telah mengatakan bahwa suatu perkara itu dilarang dan neraka adalah jaminan bagi yang melanggar, maka sungguh perkara tersebut benar-benar membawa kesengsaraan bagi masyarakat. Bahkan dalam hadis riwayat Ibnu Umar, Rasulullah pernah bersabda, “Para pedagang yang  menimbun barang makanan (kebutuhan pokok manusia) selama 40 hari, maka ia terlepas dari (hubungan dengan) Allah dan Allah pun melepaskan (hubungan dengan)-nya.” Bagaimana bisa seorang hamba terlepas dari hubungan dengan pencipta-Nya? Sungguh malang orang-orang yang telah berbuat ihtikar ini, jalinan kasih dengan pencipta-Nya pun tergadaikan dengan keserakahannya pada kenikmatan duniawi.

Selasa, 01 Juli 2014

CANGKIR 03 : FENOMENA MAHALNYA MINUMAN MEREK Q

Ketika ramadan tiba, daya konsumsi masyarakat meningkat. Inilah yang menyebabkan beberapa barang mengalami kenaikan harga, terutama makanan. Di daerah saya, ada sebuah merek minuman terkenal, air putih kemasan gelas, yang selalu mengalami kenaikan harga saat ramadan hingga lebaran. Pada hari biasa, harga minuman tersebut (sebut saja merek Q) kisaran 22-23 ribu rupiah per kardus. Namun, selama ramadan apalagi lebaran, harganya bisa menlonjak hingga 30 ribuan lebih. Fenomena ini selalu saja terjadi setiap tahunnya. Padahal, merek minuman gelas lainnya mengalami kenaikan harga yang cenderung normal, berkisar 1-2 ribu rupiah saja per kardus. Nah, apa saja yang membuat harga barang tersebut naik tajam?
Sisi Konsumen

Kenaikan harga pada merek minuman tersebut diakibatkan oleh jumlah permintaan yang meningkat menjelang lebaran. Ya, lebaran merupakan momen yang spesial bagi setiap muslim. Di hari yang spesial itu, mereka pun menyiapkan segala hal yang spesial, dari pakaian hingga menu untuk menjamu tamu yang bertandang. Karena pandangan itulah, mereka berbondong-bondong membeli merek minuman tersebut sebagai sajian yang spesial. Sekali lagi, merek minuman Q yang maksudkan ini telah dianggap oleh masyarakat umum sebagai merek terkenal. Namanya merek terkenal pastinya dianggap berkualitas bagus. Tentunya, merek ini memiliki nilai prestise yang tinggi dibanding merek lainnya karena harganya yang lebih mahal.

Ketika ditawarkan merek minuman yang lain baik yang lokal hingga non lokal (pastinya dengan harga yang lebih murah), mereka akan mengatakan, “Ah, ini kan lebaran, masa belinya minuman yang begitu.” Atau “Mumpung lebaran, setahun sekali, belinya yang mahal.” Itulah mengapa mereka rela mengeluarkan kocek dalam-dalam untuk memperoleh satu kardus minuman Q ditambah dengan tenaga ekstra untuk mencari merek tersebut dari toko ke toko. Padahal menurut saya, kualitas air minum kemasan dengan merek lain pun tak kalah dengan kualitas merek Q. Selain itu, bisa lebih hemat. Menjelang lebaran, harga satu kardus Q bisa setara dengan 2 kardus untuk merek yang lain.

Sisi Penjual

Entah sejak tahun kapan fenomena kelangkaan merek Q terjadi di desa saya. Semenjak kedua orang tua saya membuka toko kelontong, fenomena ini telah terjadi dan sekarang (menurut saya) semakin parah.
Sebelumnya, telah dijelaskan bahwa permintaan merek Q ini meningkat menjelang lebaran. Sepertinya fenomena ini pun ditangkap dan dimanfaatkan oleh para penjual. Ketika permintaan terhadap suatu barang meningkat, penjual cenderung untuk menaikkan harga barang tersebut. Apalagi jika jumlah barang yang beredar sedikit maka konsumen akan rela berebut dan membayar mahal barang uang tersebut.

Melihat kondisi ini, saya pun sempat menanyakan kepada ayah saya perihal langkanya merek Q. Karena Ayah saya juga penjual merek minuman Q tersebut, mungkin saja beliau paham mengapa kondisi ini terjadi tiap tahunnya. Menurut info yang beliau dapat dari agen distributor yang biasa mengirim barang ke toko kami, menjelang lebaran, minuman merek Q lebih banyak didistribusikan ke kota-kota. Begitulah kata agen distributor. Namun, faktanya, setelah bertahun-tahun mengalami hal ini, Ayah saya pun mengetahui bahwa beberapa pemilik toko yang bermodal besar sengaja untuk menimbun secara besar-besaran merek Q tersebut. Mereka sengaja untuk menahan dan mengendalikan peredaran barang tersebut. Ketika barang sulit diperoleh di pasaran sementara mereka menggenggam berkadus-kardus barang, tentu  mereka bisa sesuka hati untuk menentukan harga barang.


Tentu kondisi ini sangat merugikan masyarakat. Nyatanya, masyarakat sendiri tidak sadar jika perilaku mereka telah dimanfaatkan oleh beberapa oknum. Selain itu, hal ini pun merugikan para penjual kecil. Mereka harus mengeluarakn modal yang lebih banyak untuk membeli merk Q dari penjual besar. Jika selama lebaran, para penjual kecil ini tidak mampu menghabiskan stok barang Q, mereka jelas akan mengalami kerugian. Bagaimana bisa? Paska lebaran, harga barang Q akan berangsung turun akibat permintaan barang yang menurun. Kalau stok barang tidak habis, penjual terpaksa menjual barang di bawah harga beli barang tersebut.

Senin, 30 Juni 2014

CANGKIR 02 : EKSPRESI CINTA YANG MENYIKSA

Ramadan tahun ini terasa lebih lengang tanpa irama petasan.  Anak-anak lebih suka merakit layang-layang aneka bentuk dibandingkan bermain api. Setidaknya, kegiatan ini lebih banyak positifnya. Selain lebih aman karena tidak ada risiko terbakar dan suara yang memekakkan telinga, musim layang-layang ini bisa menjadi ajang pengembangan kreativitas anak-anak. Melihat layang-layang yang mengudara di awang-awang, tetiba teringat dengan kenangan masa kecil. Bukan tentang asyiknya bermain layang-layang tapi tentang hal lain yang bisa terbang pula.

Sewaktu kecil dulu, seusia batuta (baca : dibawah umur tujuh tahun), aku memiliki kebiasaan berburu capung dan kupu-kupu di halaman rumah. Dulu, halaman depan rumah masih dipenuhi dengan berbagai macam bunga. Jadi, kedua hewan yang tergolong insekta ini kerap sekali singgah di halaman. Mereka termasuk insekta yang cantik dengan kedua sayap aneka warna. Itulah hal yang mempesonaku.

Lalu, bagaimana caraku memburunya? Biasanya, aku menggunakan plastik ukuran sedang berwarna bening yang diikatkan pada patahan ranting pohon. Nah, setiap aku berhasil menangkap seekor capung (lebih sering menangkap capung daripada kupu-kupu), aku pun mengaitkan benang jahit dibagian ekor ataupun badannya.  Entah apa yang aku pikirkan saat itu. Yang jelas, naluri kanak-kanakku sama sekali tak bermaksud menyakiti si capung. Aku suka capung, mungkin itu caraku untuk memilikinya.

Apa yang kulakukan selanjutnya? Aku akan memegang ujung tali yang lain seolah-olah menerbangkan sang capung. Tentu, tindakanku ini melukai sang capung. (maaf ya, pung L). Ya,  tindakanku membuat sayap capung patah ataupun ekornya putus. Dan, akhirnya... matilah ia.

Lain halnya dengan cerita dari seorang teman. Keponakannya (masih kanak-kanak) baru saja mendapat hewan peliharaan baru yang menggemaskan. Nah, si keponakan ini pun senangnya bukan main mendapat peliharaan baru. Namun, tak sampai selang sebulan, hewan itu pun mati. Menurut cerita, keponakan temanku itu sangat gemas dengan peliharaannya, sering digendong, diremas-remas. Dan, entah seperti apa lagi perlakuannya hingga menyebabkan hewan lucu itu meninggal.

Anak-anak memang belum paham bagaimana cara memperlakukan apa yang disayanginya dengan baik. Mereka berada di masa tumbung-kembang dan belajar tentang lingkungan sekitar. Jadi, ketika mereka salah memperlakukan hewan kesayangan hingga menyebabkan hewan tersebut tersakiti bahkan meninggal, kita hanya bisa membuat pemakluman, namanya juga anak-anak.

Lalu, apakah kita yang dewasa ini sudah bisa memperlakukan apa yang disekitar kita dengan baik? Jangan-jangan kita pun masih bersikap layaknya kanak-kanak yang tak mampu memperlakukan orang lain dengan baik dan mengunggulkan ego sendiri.

“Aku melakukan ini demi kebaikanmu” atau “Ini yang terbaik untukmu, kamu pasti bahagia.”

Kita tak bisa menghakimi sesuatu yang kita lakukan itu yang terbaik tanpa mempertimbangkan  perasaan orang lain serta merunut kaidah agama. Jika orang bilang, “perlakukanlah orang lain sebagaimana kamu ingin diperlakukan” maka aku lebih suka memilih, “perlakukanlah orang lain sebagaimana mereka harus diperlakukan”. Memperlakukan orang lain sebagaimana diri ini ingin diperlakukan adalah suatu bentuk keegoisan. Kita memandang kebahagiaan dan kenyamanan orang lain dengan ukuran diri sendiri. Padahal, setiap orang memiliki bentuk perasaan yang berbeda-beda, tidak bisa disamaratakan. Saya pun tak setuju jika orang bilang, “perlakukanlah orang lain sebagaimana mereka ingin diperlakukan”. Karena, tak semua yang diingini manusia itulah yang terbaik bagi diri mereka.  Maka memperlakukan orang lain sebagaimana mereka harus diperlakukan adalah pilihan yang paling bijak. Kata ‘harus’ menunjukkan adanya suatu pakem-pakem yang mendasari suatu perlakuan. Pakem-pakem inilah yang nantinya akan membentuk seseorang menjadi pribadi yang lebih baik sedangkan memperlakukan seseorang sesuai dengan keinginannya hanyalah akan membuat sifat buruk senantiasa bertengger dalam diri seseorang. 

Minggu, 29 Juni 2014

CANGKIR 01 : MENJADI TUAN RUMAH

Konon, ketika tamu istimewa bertandang, tuan rumah akan bersiap diri dengan pakaian yang terbaik, menata rumah dengan indah dan menyiapkan hidangan yang spesial. Lalu, bagaimana jika yang bertandang itu bulan ramadan?

Ketika hari-hari terlewati hingga satu tahun qomariyah penuh, pertemuan itu pun terulang kembali. Ramadan kembali bertandang di akhir bulan Juni. Ya, sebuah akhir untuk awal yang spesial. Gembirakah kita menyambutnya? Sudah cukupkah persiapan yang telah dilakukan sebelumnya? Tidak! Tidak cukup bagi saya. Bukan karena tak sempat, lebih tepatnya saya tak menyempatkan diri untuk melakukan persiapan. Terlalu lena rupanya. Sebab kelenaan ini pulalah yang akhirnya membuat keterlambatan dalam menuliskan target-target ramadan. Sebenarnya, beberapa target ramadan telah termaktub dalam otak. Tapi, bukankah manusia tempatnya lupa? Maka perlulah untuk menuliskannya sebagai pengingat.

Merancang suatu target ramadan di hari pertama merupakan suatu keterlambatan. Bagaimana mungkin merancang sesuatu di hari H? Namun, tak ada kata terlambat dalam upaya kebaikan dan perbaikan diri, bukan? Hal terpenting dalam suatu target bukanlah kapan kita merancangnya, tetapi bagaimana suatu target itu bisa dilaksanakan sampai akhir. Maksudnya, tidak hanya sekedar tercapai tapi tetap berusaha untuk menjaga kesitiqomahan diri untuk selalu berada bahkan melampaui target tersebut di pasca ramadan.

Nah, untuk mencapai hal tersebut, hal terpenting lainnya adalah berupaya membersihkan diri dari segala dosa. Seorang tuan rumah haruslah dalam kondisi bersih dan segar kala menyambut tamunya. Begitu pula kita dalam menyambut ramadan. Kita haruslah mempersiapkan diri dengan bertobat. Pertobatan atas perilaku terhadap sesama makhluk hidup ataupun dengan sang pencipta. Ketika kita menyakiti seseorang, Allah takkan mengampuni kita sebelum kita meminta maaf kepada orang yang tersakiti. Maka, sebelum datangnya ramadan, hendaklah kita mengirimkan permohonan maaf kepada keluarga, teman, dan saudara. Barangkali, ada perilaku ataupuan ucapan yang tanpa kita sadari telah menyakiti hati orang lain.

Dosa yang kita lakukan itu ibarat suatu bercak hitam. Dosa kecil pun layaknya bercak kecil sedangkan dosa besar pun layaknya bercak yang besar-besar. Alangkah bahayanya jika bercak-bercak hitam itu akhirnya menodai hati kita. Ketika hati telah ternoda, ia pun akan terjangkit penyakit. Penyakit inilah yang akhirnya menghalangi kita dari rahmat Allah. Apa akibatnya? Allah akan memberikan kesempitan untuk kita. Kesempitan itu banyak sekali macamnya, entah berupa kelenaan, kesulitan dalam menyempatkan untuk beribadah, kemalasan, dan lain sebagainya. Itulah mengapa, Rasulullah pun mengingatkan kita untuk mengawali ramadan ini dengan pertobatan. Karena hati yang bersih akan mengantarkan kita pada kekhusyukan ibadah selama ramadan.


Mari kita sempurnakan diri kita dalam menyambut ramadan dengan saling memaafkan. Maka, tak ada hal yang patut terucap di hari pertama ramadan ini selain, mohon maaf atas segala khilaf yang telah menyakiti hati kalian. Maaf.

Rabu, 21 Mei 2014

Buku Pertama

Alhamdulillah... Ini buku pertama. walaupun baru sekaliber antologi, dan mungkin bukan dari event yang berskala besar. Setidaknya, namaku terpampang di cover depan, hehe.


Telah Terbit 
Judul Buku : Ketika Cinta Memanggil #2 (sebuah antologi puisi)
Penulis : Wien, Igha Melysa Putri, dkk

"Pikirku kamulah cinta
Memanggil merdu dalam deru ombak
Namun semakin kuselami
ronggaku tersedak, nafasku sesak

Pikirku kamulah cinta
Berkilauan indah menebas batas
Namun semakin kumembumbung tinggi
Cahayamu mambakar kulit ari

........"
 (Kutipan Kamu, ENGKAU, dan Cinta)

Selengkapnya lihat di http://www.asrifa.com/2014/05/ketika-cinta-memanggil-2.html atau beli bukunya ya... hehe #salamnarsis ! Maklum pemula :D.

PUISI KEJAR DEADLINE

Jadi, ceritanya tentang sebuah puisi yang aku bacakan saat wisuda komunitas Soto Babat. Memang, dua minggu sebelumnya, setiap peserta sudah diminta untuk membuat sebuah puisi ataupun dongeng tentang perjalanan selama mengikuti sekolah Soto Babat. Tapi karena belum sempat (lebih tepatnya tidak menyempatkan diri), sampai detik keberangkatan menuju tempat wisuda, aku pun belum membuatnya.  Sempat membuat beberapa coretan di kertas, namun baru dapat satu bait, ideku mandeg. Ya, sudah. Akhirnya, sembari melihat teman-teman (sesama peserta) membacakan karya mereka, setelah coret sana dan sini, jadilah puisi ini. #curhat #ketahuan

Nah, judul puisinya adalah “Pada Sebuah Pintu”. Ini pun baru terpikir detik-detik sebelum bangkit menuju podium (halah, emangnya ada podiumnya? Wkwkwk). Jadi, ya, harap maklum kalau puisinya kurang greget. Hehe... (lagi-lagi pemakluman)

PADA SEBUAH PINTU

Kuterpaku pada sebuah pintu
Lama sangat aku termangu
Kupandangi lekat-lekat,
terukirkan serangkai aksara
Kueja perlahan
SE-LA-MAT DA-TANG!

Kuterpaku pada sebuah pintu
Lama sangat aku termangu
Entah, fikiranku berkecamuk
Akankah kumembukanya?

Kuterpaku pada sebuah pintu
Dalam bayangku,
Begitu banyak aksara yang menari dibaliknya
Ah, haruskah kumembukanya?

Kuterpaku pada sebuah pintu
Pada setengah tahun yang lalu
Dan kini...
kuterlahir darinya



Rabu, 05 Februari 2014

ETIKA BERILMU


Suasana di ruang kuliah, EB. 101 ini begitu pengap dan panas. Entah karena udara pagi ini yang menyengat ke dalam ruangan atau otak penghuni ruangannya yang memanas. Padahal ruangan ini difasilitasi 3 buah AC, masing-masing dipajang di muka dan dua sisi ruangan. Suhu 17ÂșC. Tetap tidak mempan. Mata kuliah praktikum auditing ini begitu menguras otak. Mata kuliah dua SKS pun serasa empat SKS. Mahasiswa harus berkutat menganalisis laporan keuangan, melakukan penelusuran ke jurnal-jurnal, menelisik adakah kecurangan atau ketidakwajaran. Bak auditor profesional. Hingga sesi kelas ini berakhir, mereka baru bisa bernafas lega. Udara segar datang seketika.

 “Jadi, mana oleh-oleh dari Jogja?” Dewi menghampiri Rosa yang sedang merapikan buku-bukunya ke dalam tas.

“Oleh-oleh apa? Aku dua hari di Jogja bukan untuk jalan-jalan. Jadi, tidak sempat untuk belanja oleh-oleh.”

“Ah, kamu nih... kalau begitu, bagaimana dengan trainingnya? Seru, nggak? Hm, padahal aku pengen ikut tapi waktunya tidak tepat.”

“Seharusnya seru sih tapi menurutku biasa aja.”

“kok bisa?”

“hm, nggak tahu ya, mungkin karena dari awal aku memang tidak ada niat untuk berangkat, hanya setengah hati. Jadi, beginilah.... Hanya lelah yang didapat.”

Rosa berjalan meninggalkan ruangan praktikum. Dewi mengikutinya keluar, lalu berbelok menaiki tangga menuju ke lantai dua.

“Padahal banyak, lho, yang mau ikut training itu,” Dewi diam sejenak, “kalau kamu tidak ada niat untuk ikut, kenapa kamu mendaftarkan diri jadi peserta?”

“Terpaksa. Yah, kamu pasti tahulah, Dew.”

“Sayang, ya, seharusnya kamu bisa mendapatkan ilmu dari orang-orang keren. Hm, jadi teringat dengan nasihat dari Ibnu Hazm.”

“Hah, siapa itu? baru dengar sekarang. Eh, duduk di situ, yuk, ada kursi kosong.”
Mereka berdua pun berjalan menuju ke kursi-kursi yang kosong. Gedung B lantai dua memang terdapat spot-spot khusus yang biasa digunakan mahasiswa untuk sekedar berdiskusi atau hanya sekedar mengobrol ringan.

“Ibnu Hazm itu intelektual Andalusia yang sangat popular sekaligus seorang pemikir Islam. Seorang pecinta ilmu. Ia seorang pembelajar yang gigih, tangguh, dan tak kenal lelah.Layaknya ilmuwan islam lainnya di jaman itu. Beliau selalu berpesan, jika engkau menghadiri majelis ilmu maka janganlah hadir kecuali kehadiranmu itu untuk menambah ilmu dan memperoleh pahala.

“Jadi, maksudmu, aku tidak seharusnya ikut training?”

“Bukan begitu, maksudku.... Ah, mengapa pikiranmu sesempit itu?”

“Lalu, bisakah kamu membuatnya lebih mudah untuk aku mengerti?”

“Oke. Jadi, begini,“Dewi mencoba menjelaskan,” ketika kamu mengikuti training, seminar, kajian, dan semacamnya, kamu harus meniatkan dirimu untuk memperoleh ilmu serta menghadirkan seluruh raga, hati, dan pikiranmu. Raganya hadir tapi hati dan pikirannya absen, ya, sama saja. Kamu tidak akan memperoleh apa-apa. Lalu, bagaimana jika kita merasa belum sepenuh hati untuk datang di acara tersebut serta belum ada kesungguhan niat untuk memperoleh ilmu? Apa iya, memutuskan untuk tidak hadir, begitu saja? Padahal akan ada banyak hal yang bisa diperoleh di acara tersebut, hal-hal yang tidak kita duga sebelumnya. Dalam situasi seperti ini, kita harus memaksa diri kita untuk hadir, terlebih jika acara itu menyajikan kemanfaatan, salah satunya ilmu. ”

“Jadi, intinya meluruskan niat, begitu?”
“Ya, kembali lagi ke konsep yang tercantum dalam hadits Arba’in yang pertama.”
Sesungguhnya setiap perbuatan itu tergantung niatnya. Dan sesungguhnya setiap orang akan dibalas berdasarkan apa yang diniatkan.
“Yap, betul sekali. Nasihat dari Ibnu Hazm memang menjurus ke situ. Jika kita hadir di majelis ilmu maka niatkanlah untuk memperoleh ilmu dan pahala. Ketika kita memang berniat untuk memperoleh ilmu maka insyaa Allah kita akan mendapatkan keberkahan dari ilmu tersebut.”
“Oke, aku mengerti sekarang.” Rosa tampak manggut-manggut.
“Nah, selain itu, ada dua hal lagi yang perlu dihindari dalam mendatangi majelis ilmu. Pertama, bukannya kehadiranmu itu dengan merasa cukup akan ilmu yang ada padamu. Maksudnya, sebagai seorang pembelajar jangan pernah merasa, ‘ah aku sudah pernah mendengar mengenai hal ini’ karena hal ini akan mengurangi semangat dalam mempelajari ilmu. Ketika yang disampaikan telah kita dengar sebelumnya maka untuk kedua kalinya kita perlu belajar memahami hal tersebut. Selanjutnya, mengevalusi diri, apakah hal tersebut sudah kita terapkan di keseharian kita?” Dewi melanjutkan penjelasannya,” Kedua, jangan mencari-cari kesalahan dari guru untuk menjelekkannya. Karena ini adalah perilaku orang-orang yang tercela, mereka tidak akan mendapatkan kesuksesan dalam ilmu selamanya. Begitulah nasihat dari Ibnu Hazm.”
“Hm, super sekali! Aku harus banyak-banyak evaluasi diri, nih. Terkadang aku suka mencari  pembenaran-pembenaran untuk tidak hadir. Berdalih daripada niatnya nggak lurus mending nggak dateng.“
Referensi :
d1.islamhouse.com.2010. Hadist Arba’in Nawawiyah.Nawawi, Muhyidin Yahya.30 Januari 2014

Zaifori, Ahmad dan Sulthan Hadi. 2012.”Ibnu Hazm, Tegar Mendakwahkan syariat Ketika Banyak Ulama yang Diam”. Dalam Tarbawi, 14 Juni 2012