Kulihat jam yang yang tergantung di salah satu sudut
dinding, Pukul 13.30. Aku pun bergegas menuju ke area bus Surabaya-Semarang.
Sebuah bus berwarna merah tua telah siap menunggu kedatangan penumpang. Aku pun
segera masuk menuju ke arah bangku nomor dua yang masih kosong. Bus nampak sepi
penumpang. Agaknya, aku harus menunggu lama. Bus takkan segera berangkat.
Lalu lalang pengasong naik-turun menawarkan barang dagangan.
Seorang penjual majalah pun tak mau kalah. Ia menawarkan majalah Kartini edisi
lama kepadaku. Ah, mentang-mentang aku wanita, penjual ini menawakan Kartini
kepadaku dan Tempo kepada bapak yang duduk di depanku.
“Ini separuh harga, Mbak,” tawarnya kepadaku.
Kupandangi cover majalahnya. Aku tak tertarik dengan berita
yang disajikan.
“Wonten Tempo,
Pak?”
Yang kuajak bicara pun tercekat. Bingung mungkin karena aku
lebih tertarik pada Tempo dibanding majalah wanita yang ditawarkan untukku.
Sebuah majalah edisi bulan Juni pun beliau berikan padaku. Wah, ini pasti masih
mahal harganya, pikirku.
“Edisi Juni, Mbak, beritanya belum basi. Monggo, Mbak, mau bayar berapa, buat
penglarisan saya.”
Aku berpikir sejenak. Semisal dihitung separuh harga seperti
yang Kartini, ini juga masih lumayan mahal.
“Mbak, nawar berapa? Kurang dari harga yang tertera ini juga
nggak apa.”
Bapak penjual ini pun mulai merayu. Beliau cerita dari
kemarin dagangannya sepi, tak ada pemasukan untuk sekedar mengepulkan asap
dapur, tak ada uang untuk sekedar berbuka.
“Sepuluh ribu, ya, Pak?” tawarku asal.
Beliau pun mengernyitkan dahi pertanda tak setuju. Harga
yang kutawarkan tentu jauh dari harga asli majalah itu.
“Dua puluh ribu ya, Mbak? Majalah ini masih tergolong baru,
edisi Juni.”
Aduh, dua puluh ribu? Uangnya.... Apa nggak jadi beli aja, ya. Hm....
Eh, dua puluh ribu? Tiba-tiba aku pun teringat dengan
kejadian beberapa jam yang lalu sebelum berangkat ke terminal.
Hari ini, sebelum pulang, aku berencana menjual
kertas-kertas yang sudah tak terpakai ke penjual rongsokan. Bersama Mbak Ratih—juga
berniat menjual barang—aku pun menuju ke tempat biasa. Namun, tempat yang kami
tuju nampak sepi. Tak ada sahutan pemilik rumah padahal kami telah berkali-kali
mengucapkan salam. Sedikit putus asa, kami pun memutuskan pulang. Di
perjalanan, alhamdulillah, kami
menemukan penjual rongsokan yang lain. Tempatnya agak masuk ke dalam gang
sempit dan lebih kecil dibandingkan tempat yang biasa kami tuju. Seorang Ibu
pun menyambut.
“Memang udah rejeki ibunya,” bisik Mbak Ratih.
Kertas-kertas bekas yang kubawa pun segera ditimbang.
Beratnya 16 kg dan dihargai Rp1200,00 per kilonya.
“Ini, Mbak, dua puluh ribu,” Ibu itu menyodorkan empat
lembar uang lima ribuan kepadaku.
Aku merasa ada yang salah saat menerimanya. Apa nggak
kebanyakan? Tapi, ya sudah, alhamdulillah bisa untuk ongkos pulang, pikirku.
Empat lembar uang
lima ribuan itu masih tertata utuh di dompetku. Rencananya uang itu mau aku pakai
untuk membeli sesuatu. Tapi, ya, sudah. Aku mengeluarkan uang dua puluh ribu
dan menukarnya dengan sebuah majalah yang sejak tadi ada di tanganku. Ah, uang
ini memang rejeki dari Allah untuk si bapak.
14 Juli 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar