Kamis, 10 Juli 2014

CANGKIR 07 : KESETIAAN

Sebuah payung tergeletak di sebelah almari tua, di antara tumpukan barang-barang. Payung berwarna merah dengan motif bunga besar-besar. Ia memang tak secantik dulu, tapi masih berfungsi dengan baik.

Aku pun teringat bagaimana pertama kali sang waktu mempertemukanku dengan payung ini. Sewaktu itu, kala hujan begitu seringnya membasahi desa kami tanpa pemberitahuan, meskipun pagi begitu terik takkan ada yang menduga hujan tiba-tiba mengubah suasana siang hari. Kondisi inilah yang akhirnya menggiringku untuk membawa payung besar setiap kali berangkat ke sekolah. Ya, sedia payung sebelum hujan.

Mungkin karena itulah, suatu ketika ibuku membelikan sebuah payung lipat seharga sebelas ribu rupiah. Aku masih ingat, kala itu aku masih duduk di kelas 5 SD. Saat menerima payung itu, ada secercah rasa kecewa yang menyeruak. Aku tak suka motifnya. Merah tua dan motif bunga yang besar-besar hampir menutupi seluruh bagiannya. Sempat aku meminta ibu untuk menukarnya dengan motif yang lain. Namun, ibu meyakinkan bahwa motif itu sangat bagus. Karena tak ingin membuat ibu kecewa, kuterima saja payung itu walaupun tak begitu suka.

Semenjak itulah, payung merah bermotif bunga menemaniku setiap harinya. Meski terik ataupun hujan, ia selalu tersimpan di dalam tas. Bahkan hingga aku memasuki dunia perkuliahan, ia masih setia, duduk manis di dalam tas. Ah, betapa setianya ia. Pernah kumembeli payung baru, tak lama kemudian hilang karena tertinggal di angkot dan yang lain rusak akibat derasnya hujan. Namun, payungku yang satu ini tetap setia meskipun harus sedikit bersabar untuk memakainya.


Terkadang, hal yang kita remehkan atau tak begitu kita sukai nyatanya bisa memberikan sesuatu yang melebihi apa yang kita bayangkan. Bahkan, ia pun bisa menawarkan sebuah kesetiaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar