Sebuah payung tergeletak di sebelah almari tua, di antara
tumpukan barang-barang. Payung berwarna merah dengan motif bunga besar-besar.
Ia memang tak secantik dulu, tapi masih berfungsi dengan baik.
Aku pun teringat bagaimana pertama kali sang waktu
mempertemukanku dengan payung ini. Sewaktu itu, kala hujan begitu seringnya
membasahi desa kami tanpa pemberitahuan, meskipun pagi begitu terik takkan ada
yang menduga hujan tiba-tiba mengubah suasana siang hari. Kondisi inilah yang
akhirnya menggiringku untuk membawa payung besar setiap kali berangkat ke
sekolah. Ya, sedia payung sebelum hujan.
Mungkin karena itulah, suatu ketika ibuku membelikan sebuah
payung lipat seharga sebelas ribu rupiah. Aku masih ingat, kala itu aku masih
duduk di kelas 5 SD. Saat menerima payung itu, ada secercah rasa kecewa yang
menyeruak. Aku tak suka motifnya. Merah tua dan motif bunga yang besar-besar
hampir menutupi seluruh bagiannya. Sempat aku meminta ibu untuk menukarnya
dengan motif yang lain. Namun, ibu meyakinkan bahwa motif itu sangat bagus. Karena
tak ingin membuat ibu kecewa, kuterima saja payung itu walaupun tak begitu
suka.
Semenjak itulah, payung merah bermotif bunga menemaniku
setiap harinya. Meski terik ataupun hujan, ia selalu tersimpan di dalam tas.
Bahkan hingga aku memasuki dunia perkuliahan, ia masih setia, duduk manis di
dalam tas. Ah, betapa setianya ia. Pernah kumembeli payung baru, tak lama
kemudian hilang karena tertinggal di angkot dan yang lain rusak akibat derasnya
hujan. Namun, payungku yang satu ini tetap setia meskipun harus sedikit
bersabar untuk memakainya.
Terkadang, hal yang kita remehkan atau tak begitu kita sukai
nyatanya bisa memberikan sesuatu yang melebihi apa yang kita bayangkan. Bahkan,
ia pun bisa menawarkan sebuah kesetiaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar