Kamis, 03 Juli 2014

CANGKIR 04 : MENIMBUN, BOLEHKAH?

Pada edisi cangkir sebelumnya, saya telah membahas tentang fenomena kelangkaan salah satu merek minuman kemasan. Nah, dalam kajian ekonomi konvensional, kelangkaan disebabkan oleh sumber daya alam yang terbatas sehingga tidak mampu memenuhi keinginan manusia yang tidak terbatas. Dalam kasus yang terjadi pada merek Q, kelangkaan diakibatkan oleh adanya perilaku oknum yang mencoba menahan peredaan barang di masyarakat. Ini semacam upaya penimbunan barang dengan tujuan memperoleh keuntungan pribadi yang lebih besar. Sebenarnya, apakah perilaku ini diperbolehkan? Bukankah penjual memiliki hak untuk menentukan kapan akan menjual barang?

Ihtikar, ihtiar yang benar?

Dalam pandangan Islam, sikap menimbun barang ini dinamakan ihtikar. Menurut Imam Ghazali, ihtikar ialah penyimpanan barang dagangan oleh penjual makanan untuk menunggu melonjaknya harga dan penjualannya ketika harga melonjak. Sementara itu, para ulama Mazhab Maliki mendefinisikannya dengan lebih luas, yakni penyimpanan barang oleh produsen: baik makanan, pakaian, dan segala barang yang bisa merusak pasar. Berdasarkan kedua definisi tersebut, kasus kelangkaan kemasan minuman merek Q ini jelas tergolong pada tindakan ihtikar.

Para ulama Mazhab Maliki memberikan penekanan pada pendefinisian ihtikar dengan “bisa merusak pasar”. Jika tindakan penyimpanan barang ini tidak dimaksudkan untuk mengganggu peredaran barang dipasaran, tentu hal tersebut tidaklah termasuk tindakan ihtikar. Ketika penyimpanan barang tersebut telah merusak pasar, terlihat jelas bahwa dampak dari tindakan ihtikar ini akhirnya menimbulkan kekacauan dalam sistem jual beli yang terjadi di pasar. Ketika sistem perdagangan tidak berjalan dengan semestinya, tentunya hal ini akan merugikan pihak-pihak tertentu sehingga memunculkan kemudharatan dalam perilaku ihtikar ini. kalau kemudharatan yang dirasakan oleh masyarakat umum lebih besar dibanding kemanfaatannya maka suatu tindakan secara jelas dilarang oleh syariat.

Rasulullah saw telah berkali-kali mengingatkan umatnya mengenai tindakan ihtikar ini. Rasulullah sendiri pernah bersabda, “Siapa yang merusak harga pasar sehingga harga tersebut melonjak tajam, maka Allah akan menempatkannya di dalam neraka pada hari kiamat. (HR. At-Tabrani dari Ma’qil bin Yasar). Dalam hadis lain yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dari Abu Hurairah, Rasulullah secara jelas menyebutkan bahwa ihtikar adalah perkara yang salah.

Ketika Rasulullah telah mengatakan bahwa suatu perkara itu dilarang dan neraka adalah jaminan bagi yang melanggar, maka sungguh perkara tersebut benar-benar membawa kesengsaraan bagi masyarakat. Bahkan dalam hadis riwayat Ibnu Umar, Rasulullah pernah bersabda, “Para pedagang yang  menimbun barang makanan (kebutuhan pokok manusia) selama 40 hari, maka ia terlepas dari (hubungan dengan) Allah dan Allah pun melepaskan (hubungan dengan)-nya.” Bagaimana bisa seorang hamba terlepas dari hubungan dengan pencipta-Nya? Sungguh malang orang-orang yang telah berbuat ihtikar ini, jalinan kasih dengan pencipta-Nya pun tergadaikan dengan keserakahannya pada kenikmatan duniawi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar