Pada
edisi cangkir sebelumnya, saya telah membahas tentang fenomena kelangkaan salah
satu merek minuman kemasan. Nah, dalam kajian ekonomi konvensional, kelangkaan
disebabkan oleh sumber daya alam yang terbatas sehingga tidak mampu memenuhi
keinginan manusia yang tidak terbatas. Dalam kasus yang terjadi pada merek Q, kelangkaan
diakibatkan oleh adanya perilaku oknum yang mencoba menahan peredaan barang di
masyarakat. Ini semacam upaya penimbunan barang dengan tujuan memperoleh
keuntungan pribadi yang lebih besar. Sebenarnya, apakah perilaku ini
diperbolehkan? Bukankah penjual memiliki hak untuk menentukan kapan akan
menjual barang?
Ihtikar,
ihtiar yang benar?
Dalam
pandangan Islam, sikap menimbun barang ini dinamakan ihtikar. Menurut Imam
Ghazali, ihtikar ialah penyimpanan barang dagangan oleh penjual makanan untuk
menunggu melonjaknya harga dan penjualannya ketika harga melonjak. Sementara
itu, para ulama Mazhab Maliki mendefinisikannya dengan lebih luas, yakni
penyimpanan barang oleh produsen: baik makanan, pakaian, dan segala barang yang
bisa merusak pasar. Berdasarkan kedua definisi tersebut, kasus kelangkaan
kemasan minuman merek Q ini jelas tergolong pada tindakan ihtikar.
Para
ulama Mazhab Maliki memberikan penekanan pada pendefinisian ihtikar dengan
“bisa merusak pasar”. Jika tindakan penyimpanan barang ini tidak dimaksudkan
untuk mengganggu peredaran barang dipasaran, tentu hal tersebut tidaklah
termasuk tindakan ihtikar. Ketika penyimpanan barang tersebut telah merusak
pasar, terlihat jelas bahwa dampak dari tindakan ihtikar ini akhirnya menimbulkan
kekacauan dalam sistem jual beli yang terjadi di pasar. Ketika sistem
perdagangan tidak berjalan dengan semestinya, tentunya hal ini akan merugikan
pihak-pihak tertentu sehingga memunculkan kemudharatan dalam perilaku ihtikar
ini. kalau kemudharatan yang dirasakan oleh masyarakat umum lebih besar
dibanding kemanfaatannya maka suatu tindakan secara jelas dilarang oleh
syariat.
Rasulullah
saw telah berkali-kali mengingatkan umatnya mengenai tindakan ihtikar ini.
Rasulullah sendiri pernah bersabda, “Siapa yang merusak harga pasar sehingga
harga tersebut melonjak tajam, maka Allah akan menempatkannya di dalam neraka
pada hari kiamat. (HR. At-Tabrani dari Ma’qil bin Yasar). Dalam hadis lain yang
diriwayatkan oleh Ibnu Majah dari Abu Hurairah, Rasulullah secara jelas
menyebutkan bahwa ihtikar adalah perkara yang salah.
Ketika
Rasulullah telah mengatakan bahwa suatu perkara itu dilarang dan neraka adalah
jaminan bagi yang melanggar, maka sungguh perkara tersebut benar-benar membawa
kesengsaraan bagi masyarakat. Bahkan dalam hadis riwayat Ibnu Umar, Rasulullah
pernah bersabda, “Para pedagang yang
menimbun barang makanan (kebutuhan pokok manusia) selama 40 hari, maka
ia terlepas dari (hubungan dengan) Allah dan Allah pun melepaskan (hubungan
dengan)-nya.” Bagaimana bisa seorang hamba terlepas dari hubungan dengan
pencipta-Nya? Sungguh malang orang-orang yang telah berbuat ihtikar ini,
jalinan kasih dengan pencipta-Nya pun tergadaikan dengan keserakahannya pada
kenikmatan duniawi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar