Rabu, 05 Februari 2014

ETIKA BERILMU


Suasana di ruang kuliah, EB. 101 ini begitu pengap dan panas. Entah karena udara pagi ini yang menyengat ke dalam ruangan atau otak penghuni ruangannya yang memanas. Padahal ruangan ini difasilitasi 3 buah AC, masing-masing dipajang di muka dan dua sisi ruangan. Suhu 17ÂșC. Tetap tidak mempan. Mata kuliah praktikum auditing ini begitu menguras otak. Mata kuliah dua SKS pun serasa empat SKS. Mahasiswa harus berkutat menganalisis laporan keuangan, melakukan penelusuran ke jurnal-jurnal, menelisik adakah kecurangan atau ketidakwajaran. Bak auditor profesional. Hingga sesi kelas ini berakhir, mereka baru bisa bernafas lega. Udara segar datang seketika.

 “Jadi, mana oleh-oleh dari Jogja?” Dewi menghampiri Rosa yang sedang merapikan buku-bukunya ke dalam tas.

“Oleh-oleh apa? Aku dua hari di Jogja bukan untuk jalan-jalan. Jadi, tidak sempat untuk belanja oleh-oleh.”

“Ah, kamu nih... kalau begitu, bagaimana dengan trainingnya? Seru, nggak? Hm, padahal aku pengen ikut tapi waktunya tidak tepat.”

“Seharusnya seru sih tapi menurutku biasa aja.”

“kok bisa?”

“hm, nggak tahu ya, mungkin karena dari awal aku memang tidak ada niat untuk berangkat, hanya setengah hati. Jadi, beginilah.... Hanya lelah yang didapat.”

Rosa berjalan meninggalkan ruangan praktikum. Dewi mengikutinya keluar, lalu berbelok menaiki tangga menuju ke lantai dua.

“Padahal banyak, lho, yang mau ikut training itu,” Dewi diam sejenak, “kalau kamu tidak ada niat untuk ikut, kenapa kamu mendaftarkan diri jadi peserta?”

“Terpaksa. Yah, kamu pasti tahulah, Dew.”

“Sayang, ya, seharusnya kamu bisa mendapatkan ilmu dari orang-orang keren. Hm, jadi teringat dengan nasihat dari Ibnu Hazm.”

“Hah, siapa itu? baru dengar sekarang. Eh, duduk di situ, yuk, ada kursi kosong.”
Mereka berdua pun berjalan menuju ke kursi-kursi yang kosong. Gedung B lantai dua memang terdapat spot-spot khusus yang biasa digunakan mahasiswa untuk sekedar berdiskusi atau hanya sekedar mengobrol ringan.

“Ibnu Hazm itu intelektual Andalusia yang sangat popular sekaligus seorang pemikir Islam. Seorang pecinta ilmu. Ia seorang pembelajar yang gigih, tangguh, dan tak kenal lelah.Layaknya ilmuwan islam lainnya di jaman itu. Beliau selalu berpesan, jika engkau menghadiri majelis ilmu maka janganlah hadir kecuali kehadiranmu itu untuk menambah ilmu dan memperoleh pahala.

“Jadi, maksudmu, aku tidak seharusnya ikut training?”

“Bukan begitu, maksudku.... Ah, mengapa pikiranmu sesempit itu?”

“Lalu, bisakah kamu membuatnya lebih mudah untuk aku mengerti?”

“Oke. Jadi, begini,“Dewi mencoba menjelaskan,” ketika kamu mengikuti training, seminar, kajian, dan semacamnya, kamu harus meniatkan dirimu untuk memperoleh ilmu serta menghadirkan seluruh raga, hati, dan pikiranmu. Raganya hadir tapi hati dan pikirannya absen, ya, sama saja. Kamu tidak akan memperoleh apa-apa. Lalu, bagaimana jika kita merasa belum sepenuh hati untuk datang di acara tersebut serta belum ada kesungguhan niat untuk memperoleh ilmu? Apa iya, memutuskan untuk tidak hadir, begitu saja? Padahal akan ada banyak hal yang bisa diperoleh di acara tersebut, hal-hal yang tidak kita duga sebelumnya. Dalam situasi seperti ini, kita harus memaksa diri kita untuk hadir, terlebih jika acara itu menyajikan kemanfaatan, salah satunya ilmu. ”

“Jadi, intinya meluruskan niat, begitu?”
“Ya, kembali lagi ke konsep yang tercantum dalam hadits Arba’in yang pertama.”
Sesungguhnya setiap perbuatan itu tergantung niatnya. Dan sesungguhnya setiap orang akan dibalas berdasarkan apa yang diniatkan.
“Yap, betul sekali. Nasihat dari Ibnu Hazm memang menjurus ke situ. Jika kita hadir di majelis ilmu maka niatkanlah untuk memperoleh ilmu dan pahala. Ketika kita memang berniat untuk memperoleh ilmu maka insyaa Allah kita akan mendapatkan keberkahan dari ilmu tersebut.”
“Oke, aku mengerti sekarang.” Rosa tampak manggut-manggut.
“Nah, selain itu, ada dua hal lagi yang perlu dihindari dalam mendatangi majelis ilmu. Pertama, bukannya kehadiranmu itu dengan merasa cukup akan ilmu yang ada padamu. Maksudnya, sebagai seorang pembelajar jangan pernah merasa, ‘ah aku sudah pernah mendengar mengenai hal ini’ karena hal ini akan mengurangi semangat dalam mempelajari ilmu. Ketika yang disampaikan telah kita dengar sebelumnya maka untuk kedua kalinya kita perlu belajar memahami hal tersebut. Selanjutnya, mengevalusi diri, apakah hal tersebut sudah kita terapkan di keseharian kita?” Dewi melanjutkan penjelasannya,” Kedua, jangan mencari-cari kesalahan dari guru untuk menjelekkannya. Karena ini adalah perilaku orang-orang yang tercela, mereka tidak akan mendapatkan kesuksesan dalam ilmu selamanya. Begitulah nasihat dari Ibnu Hazm.”
“Hm, super sekali! Aku harus banyak-banyak evaluasi diri, nih. Terkadang aku suka mencari  pembenaran-pembenaran untuk tidak hadir. Berdalih daripada niatnya nggak lurus mending nggak dateng.“
Referensi :
d1.islamhouse.com.2010. Hadist Arba’in Nawawiyah.Nawawi, Muhyidin Yahya.30 Januari 2014

Zaifori, Ahmad dan Sulthan Hadi. 2012.”Ibnu Hazm, Tegar Mendakwahkan syariat Ketika Banyak Ulama yang Diam”. Dalam Tarbawi, 14 Juni 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar