Suasana di ruang kuliah, EB. 101 ini begitu pengap
dan panas. Entah karena udara pagi ini yang menyengat ke dalam ruangan atau
otak penghuni ruangannya yang memanas. Padahal ruangan ini difasilitasi 3 buah
AC, masing-masing dipajang di muka dan dua sisi ruangan. Suhu 17ºC. Tetap tidak
mempan. Mata kuliah praktikum auditing ini begitu menguras otak. Mata kuliah
dua SKS pun serasa empat SKS. Mahasiswa harus berkutat menganalisis laporan
keuangan, melakukan penelusuran ke jurnal-jurnal, menelisik adakah kecurangan
atau ketidakwajaran. Bak auditor profesional. Hingga sesi kelas ini berakhir,
mereka baru bisa bernafas lega. Udara segar datang seketika.
“Jadi, mana oleh-oleh dari Jogja?” Dewi
menghampiri Rosa yang sedang merapikan buku-bukunya ke dalam tas.
“Oleh-oleh
apa? Aku dua hari di Jogja bukan untuk jalan-jalan. Jadi, tidak sempat untuk
belanja oleh-oleh.”
“Ah,
kamu nih... kalau begitu, bagaimana dengan trainingnya? Seru, nggak? Hm, padahal aku pengen ikut tapi waktunya tidak tepat.”
“Seharusnya
seru sih tapi menurutku biasa aja.”
“kok
bisa?”
“hm,
nggak tahu ya, mungkin karena dari
awal aku memang tidak ada niat untuk berangkat, hanya setengah hati. Jadi,
beginilah.... Hanya lelah yang didapat.”
Rosa
berjalan meninggalkan ruangan praktikum. Dewi mengikutinya keluar, lalu
berbelok menaiki tangga menuju ke lantai dua.
“Padahal
banyak, lho, yang mau ikut training itu,” Dewi diam sejenak, “kalau kamu tidak
ada niat untuk ikut, kenapa kamu mendaftarkan diri jadi peserta?”
“Terpaksa.
Yah, kamu pasti tahulah, Dew.”
“Sayang,
ya, seharusnya kamu bisa mendapatkan ilmu dari orang-orang keren. Hm, jadi teringat dengan nasihat dari Ibnu Hazm.”
“Hah,
siapa itu? baru dengar sekarang. Eh, duduk di situ, yuk, ada kursi kosong.”
Mereka
berdua pun berjalan menuju ke kursi-kursi yang kosong. Gedung B lantai dua
memang terdapat spot-spot khusus yang biasa digunakan mahasiswa untuk sekedar
berdiskusi atau hanya sekedar mengobrol ringan.
“Ibnu
Hazm itu intelektual Andalusia yang sangat popular sekaligus seorang pemikir
Islam. Seorang pecinta ilmu. Ia seorang pembelajar yang gigih, tangguh, dan tak
kenal lelah.Layaknya ilmuwan islam lainnya di jaman itu. Beliau selalu berpesan, jika engkau menghadiri majelis ilmu maka
janganlah hadir kecuali kehadiranmu itu untuk menambah ilmu dan memperoleh
pahala.”
“Jadi,
maksudmu, aku tidak seharusnya ikut training?”
“Bukan
begitu, maksudku.... Ah, mengapa pikiranmu sesempit itu?”
“Lalu,
bisakah kamu membuatnya lebih mudah untuk aku mengerti?”
“Oke.
Jadi, begini,“Dewi mencoba menjelaskan,” ketika kamu mengikuti training,
seminar, kajian, dan semacamnya, kamu harus meniatkan dirimu untuk memperoleh
ilmu serta menghadirkan seluruh raga, hati, dan pikiranmu. Raganya hadir tapi
hati dan pikirannya absen, ya, sama saja. Kamu tidak akan memperoleh apa-apa. Lalu,
bagaimana jika kita merasa belum sepenuh hati untuk datang di acara tersebut
serta belum ada kesungguhan niat untuk memperoleh ilmu? Apa iya, memutuskan
untuk tidak hadir, begitu saja? Padahal akan ada banyak hal yang bisa diperoleh
di acara tersebut, hal-hal yang tidak kita duga sebelumnya. Dalam situasi
seperti ini, kita harus memaksa diri kita untuk hadir, terlebih jika acara itu
menyajikan kemanfaatan, salah satunya ilmu. ”
“Jadi,
intinya meluruskan niat, begitu?”
“Ya,
kembali lagi ke konsep yang tercantum dalam hadits Arba’in yang pertama.”
“Sesungguhnya setiap perbuatan itu tergantung
niatnya. Dan sesungguhnya setiap
orang akan dibalas berdasarkan apa yang diniatkan.”
“Yap,
betul sekali. Nasihat dari Ibnu Hazm memang menjurus ke situ. Jika kita hadir
di majelis ilmu maka niatkanlah untuk memperoleh ilmu dan pahala. Ketika kita
memang berniat untuk memperoleh ilmu maka insyaa
Allah kita akan mendapatkan keberkahan dari ilmu tersebut.”
“Oke,
aku mengerti sekarang.” Rosa tampak manggut-manggut.
“Nah,
selain itu, ada dua hal lagi yang perlu dihindari dalam mendatangi majelis
ilmu. Pertama, bukannya kehadiranmu itu dengan merasa cukup akan ilmu yang ada
padamu. Maksudnya, sebagai seorang pembelajar jangan pernah merasa, ‘ah aku sudah pernah mendengar mengenai hal
ini’ karena hal ini akan mengurangi semangat dalam mempelajari ilmu. Ketika
yang disampaikan telah kita dengar sebelumnya maka untuk kedua kalinya kita
perlu belajar memahami hal tersebut. Selanjutnya, mengevalusi diri, apakah hal
tersebut sudah kita terapkan di keseharian kita?” Dewi melanjutkan
penjelasannya,” Kedua, jangan mencari-cari kesalahan dari guru untuk
menjelekkannya. Karena ini adalah perilaku orang-orang yang tercela, mereka
tidak akan mendapatkan kesuksesan dalam ilmu selamanya. Begitulah nasihat dari
Ibnu Hazm.”
“Hm,
super sekali! Aku harus banyak-banyak evaluasi diri, nih. Terkadang aku suka
mencari pembenaran-pembenaran untuk
tidak hadir. Berdalih daripada niatnya nggak
lurus mending nggak dateng.“
Referensi
:
d1.islamhouse.com.2010. Hadist Arba’in Nawawiyah.Nawawi,
Muhyidin Yahya.30 Januari 2014
Zaifori, Ahmad dan Sulthan Hadi.
2012.”Ibnu Hazm, Tegar Mendakwahkan syariat Ketika Banyak Ulama yang Diam”.
Dalam Tarbawi, 14 Juni 2012