Di penghujung
tahun 2011 sempat mencuat kasus tentang PT Freeport, salah satu perusahaan yang
mengelola bahan tambang di Indonesia. Kasus ini sempat menjadi perbincangan
hangat berbagai kalangan. Hal ini dikarenakan banyaknya kejanggalan mengenai
kerjasama yang dibuat antara PT Freeport dengan pemerintah yang dirasa justru
merugikan pihak Indonesia.
PT Freeport
merupakan salah satu perusahaan asing yang mengelola hasil tambang di Indonesia,
lebih tepatnya di daerah Papua. Perusahaan telah mengelola tambang emas di
daerah ini semenjak jaman orde baru hingga sekarang setelah mengalami
perpanjangan kontrak.
Terkait dengan
kasus PT Freeport tersebut, bagaimana menurut pandangan ekonomi islam? Bolehkah
suatu barang tambang dikelola dan dimiliki oleh pihak swasta?
A. Macam-macam Barang Mineral
Sebelum membahas lebih lanjut
mengenai hukum kepemilikan barang mineral terlebih dahulu mengkaji tentang
macam barang mineral. Para fakih umumnya membagi bahan-bahan mineral menjadi
dua hal yakni ;
a.
Azh-zhahir
(terbuka)
Mineral azh zhahir adalah bahan-bahan yang tidak membutuhkan usaha serta
proses tambahan agar mencapai bentuk akhirnya dan substansi mineralnya tampak
dengan sendirinya seperti garam dan minyak (Baqir, 2008)
Maksud dari Azh zhahir ini bukan berarti mineral tersebut telah tampak
dipermukaan tanah sehingga tidak diperlukan upaya sama sekali untuk
mengambilnya. Akan tetapi, untuk mendapatkan mineral tersebut tetap dilakukan
upaya penggalian atau pengungkapan. Namun saat digali, telah diperoleh dalam
wujud akhirnya, misal minyak. Minyak yang ada dalam perut bumi telah berwujud
sebagaimana minyak. Individu tidak perlu mengeluarkan suatu usaha khusus untuk
mengubah bentuk zatnya meskipun minyak ini nantinya akan mengalami suatu proses
penjernihan dan lain-lain. Yang termasuk ke dalam barang mineral terbuka, antara
lain: batu bara, gerinda, kaolin, garam, aspal, rubi, antimony, dan jenis
batuan lainnya
b.
Al Bathin (tersembunyi)
Menurut Baqir (2008), mineral-mineral
al bathin dalam fikih berarti setiap
mineral yang membutuhkan usaha serta proses lebih lanjut agar sifat-sifat
mineral yang tampak, misalnya emas dan besi.
Berbeda dengan azh
zhahir, mineral al bathin perlu
mengalami proses khusus untuk memperoleh suatu bentuk mineral yang
sesungguhnya. Misalnya, untuk memperoleh emas yang biasa dipakai sebagai bahan
pembuat perhiasan, setelah proses penggalian, individu masih melakukan beberapa
tahapan untuk memperoleh bijih emas yang kemudian diproses agar dapat dibentuk
menjadi perhiasan. Jadi, hasil yang diperoleh dari penggalian belum berupa emas
serta memiliki nilai ekonomi yang rendah.
Kemudian
mengenai hukum-hukum kepemilikannya akan dijelaskan lebih rinci pada sub bab
selanjutnya.
B. Kepemilikan Barang Mineral
Terdapat berbagai pandangan
mengenai kepemilikan barang mineral. Pada kesempatan ini kita akan mengulas
hukum kepemilikan barang mineral menurut Mazhab Baqir Ash Shadr.
a.
Mineral-Mineral Terbuka
Menurut fatwa (opini hukum) yang
berlaku, mineral-mineral terbuka adalah milik bersama masyarakat (Baqir, 2008).
Hal ini dimaksudkan bahwa mineral-mineral terbuka tersebut berada dalam prinsip kepemilikan
bersama sementara individu boleh mengambil manfaatnya hanya sebesar yang
dibutuhkannya. Oleh karena itu, dibutuhkan peran negara/pemimpin untuk mengatur
dan mengelola sumber mineral tersebut agar lebih produktif dan menghasilkan
manfaat bagi masyarakat luas.
Selanjutnya, kepemilikan bersama
tersebut tidak hanya mencakup masyarakat yang beragama Islam saja tapi juga
seluruh komponen masyarakat. Jadi kasus bahan mineral ini berbeda dengan kasus
tanah taklukan yang subur dalam hal pemaknaan kepemilikan bersama.
Pada kasus tanah taklukan yang
subur, tanah tersebut menjadi hak milik bersama masyarakat muslim. Sedangkan
untuk barang mineral menjadi hak milik seluruh masyarakat yang ada di daerah
tersebut tidak memandang apakah ia muslim ataupun non muslim.
Telah dijelaskan di atas bahwa
individu hanya boleh mengambil sejumlah kebutuhannya saja. Individu dilarang
untuk melakukan praktek monopoli meskipun ia telah mengeluarkan usaha yang
banyak untuk menggali sumber mineral tersebut. Individu tidak diperkenankan
membangun batas-batas kepemilikan tertentu apalagi menyewakannya.
Menurut ‘Allamah dalam Baqir (2008)
menyatakan bahwa tidak seorang pun mendapatkan sumber mineral-mineral ini lewat
reklamasi dan penggalian, jika itu berarti nayl
menurut kesepakatan umum. Adapun yang dimaksud dengan Nayl adalah lapisan geologis
yang mengandung sumber mineral.
Sumber-sumber fikih, seperti Al Mabsuth, Al Muhadzdzab, As Sara’ir, At
Tahrir, Ad Durus, Al Lum’ah dan Ar Raudhah sepakat dengan prinsip
kepemilikan ini. Lalu bagaimana jika individu tersebut mengambil melebihi dari
yang dibutuhkan? Jika individu mana pun berusaha mengambil lebih dari apa yang
dibutuhkan, ia harus dilarang melakukan hal tersebut. Hal ini diungkapkan dalam
Jami’asy Syara’i’ dan Al
Idhah.
Pandapat di atas merupakan pendapat
mayoritas fakih. Namun menurut ‘Allamah, para fakih tidak menjelaskan lebih rinci
mengenai apa yang dimaksud melebihi kebutuhan. Apakah yang dimaksud melebihi
kebutuhan harian, bulanan, atau tahunan.
b.
Mineral-Mineral
Tersembunyi
Mineral-mineral tersembunyi dibagi
menjadi dua kategori, yakni mineral tersembunyi yang dekat dengan permukaan
bumi dan mineral tersembunyi yang terpendam.
·
Mineral tersembunyi
yang dekat dengan permukaan bumi
‘Allamah al Hilli dalam Baqir
(2008) menyatakan bahwa mineral-mineral tersmbunyi dapat saja terbuka dalam
pengertian mereka eksis dekat dari permukaan bumi atau di atas permukaannya
sehingga dapat diambil dengan tangan, juga dapat tertutup.
Untuk mineral tersembunyi jenis ini, hukum kepemilikannya
sama dengan mineral-mineral terbuka. Barang mineral tidak boleh dikuasai oleh
individu yang bersangkutan. Sebagaimana yang dinyatakan oleh fakih Al Ishfahani
dalam Al Wasilah bahwa Islam tidak mengizinkan penguasaan atas bahan-bahan
mineral yang eksis dekat dari permukaan bumi sebagai milik pribadi. Namun,
islam mengizinkan setiap individu untuk mengambil bahan-bahan mineral tersebut
sepanjang tidak melebihi batas kewajaran, tidak memonopoli mereka sehingga
merugikan masyarakat dan mengganggu kenyamanan serta menyulitkan orang lain.
·
Mineral-mineral
tersembunyi yang terpendam
Mineral-mineral tersembunyi yang
terpendam jauh di dalam perut bumi memerlukan dua jenis usaha : (1) usaha untuk
mengeksplorasi serta menggali demi mendapatkannya; dan (2) usaha untuk
memurnikan serta menampakkan sifat-sifat mineralnya. (Baqir, 2008)
Terdapat beberapa pendapat mengenai
hukum kepemilikan atas mineral-mineral tersembunyi yang terpendam. Menurut Al Kulaini, Al Qummi, Al Mufid, Ad Dailami,
Al Qadhi, dan lainnya, merka berpendapat bahwa mineral tersembunyi itu seperti anfal yang merupakan kepemilikan negara.
Sementara Imam asy Syafi’i dan banyak ulam mazhad Hambali sepakat bahwa mineral
tersembunyi merupakan kepemilikan umum.
Pada umumnya para fakih berpendapat
bahwa seorang individu mendapatkan tambang-tambang emas dan besi sebagai milik
pribadinya setelah ia menemukan mineral lewat penggalian karena proses
penggalian tersebut dianggap sejenis reklamasi. Tentunya terdapat
batasan-batasan yang ditetapkan yakni kepemilikan tambang yang diberikan kepada
si penemu, tidak meluas di kedalaman bumi sampai sumber dan akar-akarnya.
“Pembagian kepemilikan ini benar-benar terbatas dan sempit,
di mana orang lain boleh melakukan penggalian pada tempat lain di tambang yang
sama. Orang lain bisa saja mendapatkan mineral yang berasal dari sumber dan
akar yang sama seperti yang didapatkan oleh penemu pertama, karena penemu
pertama itu tidak memiliki sumber dan akar-akar mineral tersebut” Baqir
(2008:222)
Pernyataan tersebut sebenarnya
tidak menghalangi usaha eksploitasi, namun melarang perluasan area lebih dari yang
ditetapkan. Kemudian Baqir mencoba menggabungkan batasan ini dengan prinsip
yang melarang pengabaian properti, yakni prinsip yang mencegah individu –yang
menggali dan mengeksploitasi tambang- dari menelantarkan tambangnya, serta
menjadi dasar bagi pengambilalihan tambang tersebut ketika telah ditelantarkan.
Tentunya hal ini berbeda dengan jenis kepemilikan utilitas public alamiah
menurut ekonomi kapitalis yang menciptakan perusahaan individual monopolistik
yang mendominasi masyarakat kapitalis serta memperoleh kewenangan dan kendali
memonopoli tambang yang terkandung di dalamnya.
Selanjutnya menurut pandangan Baqir
(2008:225-226) sendiri, “menurut opini hukum yang dominan, kepemilikan tambang
adalah milik bersama yang dapat dimanfaatkan bersama-sama. Tidak seorang pun
boleh menguasai sumber dan akar-akar tambang yang berada di bawah perut bumi.
Berkenaan dengan bahan mineral yang terkandung di dalam tambang, hak
kepemilikan individu hanya sebatas pada lubang yang ia gali, ke arah vertikal
dan horizontal.”
Disadur dari :
Buku Induk Ekonomi
Islam: Iqtishaduna, karangan Muhammad Baqir
Ash Shadr tahun 2008 cetakan 1.
(penerjemah : Yudi)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar