Selasa, 18 Desember 2012

CINTA DI BALIK KERAK BUBUR



Sebentar lagi tanggal 22 Desember... hayoo pada inget nggak itu hari apa? Yup itu merupakan hari yang spesial... “Hari IBU” merupakan sebuah penghargaan khusus yang ditujukan untuk para ibu atas pengorbanan dan kasih sayangnya selama ini kepada anak dan keluarganya... Bukankah kasih ibu sepanjang masa...? Nah mengenai kasih ibu, tiba-tiba teringat tentang sepenggal kisah semasa kecil nih...
Suatu ketika kakakku yang pertama jatuh sakit, agak parah juga sakitnya. Bahkan sampe nggak boleh  (dan nggak bisa) makan sembarangan apalagi yang teksturnya kasar. Sebagaimana seorang ibu pada umumnya, ibuku pun rela membuatkan bubur special untuk kakakku... Bubur special yang dimasak penuh cinta.. setiap hari.
Seperti biasa, ibuku membuatkan bubur untuk kakakku yang sakit itu. Namun, karena sesuatu hal, ibuku jadi lupa mengaduk-aduk buburnya. Alhasil adonan yang bawah agak gosong dan sedikit berkerak, nempel di panci.
Untunglah buburnya masih ada bagian yang bagus sehingga bisa dipisahkan dari yang berkerak. Karena sayang dibuang, bagian keraknya pun diambil juga dan ditempatkan di piring terpisah. Waktu itu aku masih kecil dan dengan polosnya bertanya, “Bu, ini apa? Kok kayak usus ayam ya?”
“Tadi Ibu masak bubur tapi karena kurang diaduk jadi bagian bawahnya berkerak, sayang kalo dibuang, jadi ini mau ibu makan”
“Ooh gitu, aku nyicip dikit ya.. hm... enak.. lumayan..”
“Kamu mau, gha? Yaudah dihabisin aja...”
Entah kenapa setelah kejadian ini, setiap membuat bubur, ibu pasti sengaja untuk menjadikan sebagian buburnya agak berkerak. Bukan karena lalai mengaduk, tapi sengaja dibiarkan seperti itu, karena putrinya suka.
Ini hanyalah sebagian kecil dari bentuk kasih sayang seorang ibu. Terkadang orang tua sengaja melakukan hal-hal tertentu,yang mungkin bagi orang lain terkesan aneh, demi membahagiakan anaknya.
Pernahkah kalian melihat seorang ibu atau ayah yang sedang menghabiskan waktu bersama bayi mungilnya. Ketika ada suatu hal yang dilakukan oleh orang tuanya baik dari ekspresi maupun tindakan yang membuat anaknya tertawa, mereka akan sengaja untuk mengulang-ulang tindakannya tersebut. Mungkin orang lain melihat tingkahnya aneh, tapi bagi mereka melihat anaknya tertawa lepas merupakan hal yang paling membahagiakan yang tidak tergantikan oleh apapun. Bahkan hingga bayi mungilnya itu sudah tumbuh dewasa, mereka masih tetap melakukan hal-hal untuk membahagiakan putra-putrinya. Tapi terkadang kita justru sebagai anak menyalahartikan tindakan tulus mereka bahkan sampai memaki orang tua kita, na’udzubillah...
Sekarang mari kita sama-sama merenung... mencoba flashback kejadian yang pernah kita lalui bersama orang tua kita... mencoba memahami maksud dari setiap tindakan mereka... dan sudah selayaknya, kita mancintai mereka ... Orang Tua merupakan sosok yang patut untuk dicintai setelah ALLAH dan Rasul-Nya...


Senin, 10 Desember 2012

PANDANGAN MAZHAB BAQIR ASH SHADR TERKAIT BAHAN MINERAL


Di penghujung tahun 2011 sempat mencuat kasus tentang PT Freeport, salah satu perusahaan yang mengelola bahan tambang di Indonesia. Kasus ini sempat menjadi perbincangan hangat berbagai kalangan. Hal ini dikarenakan banyaknya kejanggalan mengenai kerjasama yang dibuat antara PT Freeport dengan pemerintah yang dirasa justru merugikan pihak Indonesia.
PT Freeport merupakan salah satu perusahaan asing yang mengelola hasil tambang di Indonesia, lebih tepatnya di daerah Papua. Perusahaan telah mengelola tambang emas di daerah ini semenjak jaman orde baru hingga sekarang setelah mengalami perpanjangan kontrak.
Terkait dengan kasus PT Freeport tersebut, bagaimana menurut pandangan ekonomi islam? Bolehkah suatu barang tambang dikelola dan dimiliki oleh pihak swasta?
A.    Macam-macam Barang Mineral
Sebelum membahas lebih lanjut mengenai hukum kepemilikan barang mineral terlebih dahulu mengkaji tentang macam barang mineral. Para fakih umumnya membagi bahan-bahan mineral menjadi dua hal yakni ;
a.       Azh-zhahir (terbuka)
Mineral azh zhahir adalah bahan-bahan yang tidak membutuhkan usaha serta proses tambahan agar mencapai bentuk akhirnya dan substansi mineralnya tampak dengan sendirinya seperti garam dan minyak (Baqir, 2008)
Maksud dari Azh zhahir ini bukan berarti mineral tersebut telah tampak dipermukaan tanah sehingga tidak diperlukan upaya sama sekali untuk mengambilnya. Akan tetapi, untuk mendapatkan mineral tersebut tetap dilakukan upaya penggalian atau pengungkapan. Namun saat digali, telah diperoleh dalam wujud akhirnya, misal minyak. Minyak yang ada dalam perut bumi telah berwujud sebagaimana minyak. Individu tidak perlu mengeluarkan suatu usaha khusus untuk mengubah bentuk zatnya meskipun minyak ini nantinya akan mengalami suatu proses penjernihan dan lain-lain. Yang termasuk ke dalam barang mineral terbuka, antara lain: batu bara, gerinda, kaolin, garam, aspal, rubi, antimony, dan jenis batuan lainnya
b.      Al Bathin (tersembunyi)
Menurut Baqir (2008), mineral-mineral al bathin dalam fikih berarti setiap mineral yang membutuhkan usaha serta proses lebih lanjut agar sifat-sifat mineral yang tampak, misalnya emas dan besi.
Berbeda dengan azh zhahir, mineral al bathin perlu mengalami proses khusus untuk memperoleh suatu bentuk mineral yang sesungguhnya. Misalnya, untuk memperoleh emas yang biasa dipakai sebagai bahan pembuat perhiasan, setelah proses penggalian, individu masih melakukan beberapa tahapan untuk memperoleh bijih emas yang kemudian diproses agar dapat dibentuk menjadi perhiasan. Jadi, hasil yang diperoleh dari penggalian belum berupa emas serta memiliki nilai ekonomi yang rendah.
Kemudian mengenai hukum-hukum kepemilikannya akan dijelaskan lebih rinci pada sub bab selanjutnya.
B.     Kepemilikan Barang Mineral
Terdapat berbagai pandangan mengenai kepemilikan barang mineral. Pada kesempatan ini kita akan mengulas hukum kepemilikan barang mineral menurut Mazhab Baqir Ash Shadr.
a.       Mineral-Mineral Terbuka
Menurut fatwa (opini hukum) yang berlaku, mineral-mineral terbuka adalah milik bersama masyarakat (Baqir, 2008). Hal ini dimaksudkan bahwa mineral-mineral terbuka  tersebut berada dalam prinsip kepemilikan bersama sementara individu boleh mengambil manfaatnya hanya sebesar yang dibutuhkannya. Oleh karena itu, dibutuhkan peran negara/pemimpin untuk mengatur dan mengelola sumber mineral tersebut agar lebih produktif dan menghasilkan manfaat bagi masyarakat luas.
Selanjutnya, kepemilikan bersama tersebut tidak hanya mencakup masyarakat yang beragama Islam saja tapi juga seluruh komponen masyarakat. Jadi kasus bahan mineral ini berbeda dengan kasus tanah taklukan yang subur dalam hal pemaknaan kepemilikan bersama.
Pada kasus tanah taklukan yang subur, tanah tersebut menjadi hak milik bersama masyarakat muslim. Sedangkan untuk barang mineral menjadi hak milik seluruh masyarakat yang ada di daerah tersebut tidak memandang apakah ia muslim ataupun non muslim.
Telah dijelaskan di atas bahwa individu hanya boleh mengambil sejumlah kebutuhannya saja. Individu dilarang untuk melakukan praktek monopoli meskipun ia telah mengeluarkan usaha yang banyak untuk menggali sumber mineral tersebut. Individu tidak diperkenankan membangun batas-batas kepemilikan tertentu apalagi menyewakannya.
Menurut ‘Allamah dalam Baqir (2008) menyatakan bahwa tidak seorang pun mendapatkan sumber mineral-mineral ini lewat reklamasi dan penggalian, jika itu berarti nayl menurut kesepakatan umum. Adapun yang dimaksud dengan Nayl  adalah lapisan geologis yang mengandung  sumber mineral.
Sumber-sumber fikih, seperti Al Mabsuth, Al Muhadzdzab, As Sara’ir, At Tahrir, Ad Durus, Al Lum’ah dan Ar Raudhah sepakat dengan prinsip kepemilikan ini. Lalu bagaimana jika individu tersebut mengambil melebihi dari yang dibutuhkan? Jika individu mana pun berusaha mengambil lebih dari apa yang dibutuhkan, ia harus dilarang melakukan hal tersebut. Hal ini diungkapkan dalam Jami’asy Syara’i’ dan  Al Idhah.
Pandapat di atas merupakan pendapat mayoritas fakih. Namun menurut ‘Allamah, para fakih tidak menjelaskan lebih rinci mengenai apa yang dimaksud melebihi kebutuhan. Apakah yang dimaksud melebihi kebutuhan harian, bulanan, atau tahunan.

b.      Mineral-Mineral Tersembunyi
Mineral-mineral tersembunyi dibagi menjadi dua kategori, yakni mineral tersembunyi yang dekat dengan permukaan bumi dan mineral tersembunyi yang terpendam.
·         Mineral tersembunyi yang dekat dengan permukaan bumi
‘Allamah al Hilli dalam Baqir (2008) menyatakan bahwa mineral-mineral tersmbunyi dapat saja terbuka dalam pengertian mereka eksis dekat dari permukaan bumi atau di atas permukaannya sehingga dapat diambil dengan tangan, juga dapat tertutup.
Untuk mineral tersembunyi jenis ini, hukum kepemilikannya sama dengan mineral-mineral terbuka. Barang mineral tidak boleh dikuasai oleh individu yang bersangkutan. Sebagaimana yang dinyatakan oleh fakih Al Ishfahani dalam Al Wasilah bahwa Islam tidak mengizinkan penguasaan atas bahan-bahan mineral yang eksis dekat dari permukaan bumi sebagai milik pribadi. Namun, islam mengizinkan setiap individu untuk mengambil bahan-bahan mineral tersebut sepanjang tidak melebihi batas kewajaran, tidak memonopoli mereka sehingga merugikan masyarakat dan mengganggu kenyamanan serta menyulitkan orang lain.
·         Mineral-mineral tersembunyi yang terpendam
Mineral-mineral tersembunyi yang terpendam jauh di dalam perut bumi memerlukan dua jenis usaha : (1) usaha untuk mengeksplorasi serta menggali demi mendapatkannya; dan (2) usaha untuk memurnikan serta menampakkan sifat-sifat mineralnya. (Baqir, 2008)
Terdapat beberapa pendapat mengenai hukum kepemilikan atas mineral-mineral tersembunyi yang terpendam. Menurut  Al Kulaini, Al Qummi, Al Mufid, Ad Dailami, Al Qadhi, dan lainnya, merka berpendapat bahwa mineral tersembunyi itu seperti anfal yang merupakan kepemilikan negara. Sementara Imam asy Syafi’i dan banyak ulam mazhad Hambali sepakat bahwa mineral tersembunyi merupakan kepemilikan umum.
Pada umumnya para fakih berpendapat bahwa seorang individu mendapatkan tambang-tambang emas dan besi sebagai milik pribadinya setelah ia menemukan mineral lewat penggalian karena proses penggalian tersebut dianggap sejenis reklamasi. Tentunya terdapat batasan-batasan yang ditetapkan yakni kepemilikan tambang yang diberikan kepada si penemu, tidak meluas di kedalaman bumi sampai sumber dan akar-akarnya.
“Pembagian kepemilikan ini benar-benar terbatas dan sempit, di mana orang lain boleh melakukan penggalian pada tempat lain di tambang yang sama. Orang lain bisa saja mendapatkan mineral yang berasal dari sumber dan akar yang sama seperti yang didapatkan oleh penemu pertama, karena penemu pertama itu tidak memiliki sumber dan akar-akar mineral tersebut” Baqir (2008:222)

Pernyataan tersebut sebenarnya tidak menghalangi usaha eksploitasi, namun melarang perluasan area lebih dari yang ditetapkan. Kemudian Baqir mencoba menggabungkan batasan ini dengan prinsip yang melarang pengabaian properti, yakni prinsip yang mencegah individu –yang menggali dan mengeksploitasi tambang- dari menelantarkan tambangnya, serta menjadi dasar bagi pengambilalihan tambang tersebut ketika telah ditelantarkan. Tentunya hal ini berbeda dengan jenis kepemilikan utilitas public alamiah menurut ekonomi kapitalis yang menciptakan perusahaan individual monopolistik yang mendominasi masyarakat kapitalis serta memperoleh kewenangan dan kendali memonopoli tambang yang terkandung di dalamnya.
Selanjutnya menurut pandangan Baqir (2008:225-226) sendiri, “menurut opini hukum yang dominan, kepemilikan tambang adalah milik bersama yang dapat dimanfaatkan bersama-sama. Tidak seorang pun boleh menguasai sumber dan akar-akar tambang yang berada di bawah perut bumi. Berkenaan dengan bahan mineral yang terkandung di dalam tambang, hak kepemilikan individu hanya sebatas pada lubang yang ia gali, ke arah vertikal dan horizontal.”


Disadur dari :
Buku Induk Ekonomi Islam: Iqtishaduna, karangan Muhammad Baqir Ash Shadr  tahun 2008 cetakan 1. (penerjemah : Yudi)