Cinta, cinta, cinta, ehm... emang
nggak ada habisnya ya kalo ngomongin soal cinta.... Apalagi nich ngomongin soal
cintanya anak muda jaman sekarang, wuih.... makin aneh-aneh aja...
Uhm jadi inget lagu yang sempet tren
neh, “Kau.... harusnya memilih aku....
lupakan dia, lupakan dia, datanglah kepadaku....”kayaknya ngenes banget gitu, tapi ya memang beginilah
kisah cinta anak muda jaman sekarang. Kejatuhan cinta, trus timbul rasa ingin
memiliki, ngedeketin, begitu deket, eh..... si Doi jadian sama yang lain....
Patah Hati deh. Mending kalo masih berfikiran jernih, nah kalo masih keukeuh
ngejar-ngejar si Doi sampe menghalalkan segala cara buat merebut si Doi...
(wah-wah sinetron banget neh) Udah deh... di mana harga dirimu, nak?
–Naudzubillahi min dzalik-
Dalam kondisi tersebut, saya
cenderung lebih setuju dengan ungkapannya mb Audy “...Berat hati menerima kehilanganmu, Tegarkan aku saat kau memilih
dirinya.... Pergi cinta, hapus bayanganku cinta, bahagiakan dia cinta, sampai
akhir waktu engkau bersamanya...”ihiiirrr terkesan lebih fair lah. Ya udah terima nasib gitu....
Ketika si Merah
Jambu menyapa....
Si
Merah Jambu tak pernah pilih kasih, ia menyapa siapa saja yang ditemui...
Pesonanya begitu memikat hati, mengaburkan pandangan, sehingga tak sadar jika
langkah kaki ini terjerat nafsu
Iyapz, cinta itu emang nggak pandang
bulu, siap mengetuk pintu siapapun. Tak pelak jua, saudariku yang sedang
istiqomah menjadi muslimah. Memang urusan menjilbabi hati itu lebih susah
daripada menjilbabi badan. Terkadang perasaan itu pun membuncah ingin
diungkapkan. Akan tetapi ikatan yang halal terasa sulit untuk disambungkan.
Ketika seorang akhwat (cewek) jatuh
cinta kepada ikhwan (cowok)
dan sebaliknya adalah suatu kewajaran, sudah jadi fitrahnya (jika tidak, itu
yang nggak wajar). Namun gimana ya cara memanajemen perasaan itu? Tidak mungkin
jika langsung diungkapkan ke empunya (kecuali kalau sudah siap buat sebar
undangan walimah / pernikahan). Maka satu-satunya cara ya.... Cintailah dia
dalam diam
Cintailah dia
dalam diam
Gimana
caranya tuh mencintai seseorang dalam diam?? Ya... nggak usah diungkapin, biarlah
hanya dirimu dan Allah yang tahu. Cintailah dia dalam diam sampe kamu telah
benar-benar siap untuk menyempurnakan agamamu dengan jalan menikah. Hal ini
lebih memudahkan untuk mengontrol perasaanmu dan menjaga frekuensi ibadah.
Tapi, ya begitu, emang beeeerrrrraaaaaaaaaaaaaatttttttttttttttttttt
banget buat menjaga hati. Terkadang suka takut, gimana ya kalo dia justru
memilih orang lain??
He is not a good
boy
Sakit rasanya kalau disakiti sama
orang yang kita sayangi. Misalnya nich, suka sama cowok dan cowok itu suka sama
kita juga. Nah, kita udah berusaha sekuat tenaga buat mengontrol hati, menjaga
perasaan agar tidak tersandung dalam jurang hawa nafsu. Eeh... cowok itu malah
pacaran sama cewek lain. Padahal kita udah berharap tuh, suatu saat cowok itu
akan datang untuk menjalin ikatan yang halal (baca:nikah). Dan PUPUS-lah
harapan itu. Sakit, sakiiiit hati ini.
Mungkin saat pertama kali, kamu akan
menangis sejadi-jadinya. Mulai melankolis dan berandai-andai. Andai aku
memberitahukan perasaanku. Andai aku bisa menjalani hal itu dengannya
(baca:Pacaran). Andai dan andai. Astagfirullah.... Hilangkan tuh yang namanya
berandai-andai dari fikiranmu. Justru kamu harusnya bersyukur kepada Allah yang
telah meneguhkan Imanmu. Allah itu sedang menunjukkan, “ini lho cowok yang kamu
sukai itu sebenernya kayak gini, nggak pantes buat kamu. Soalnya cintanya ke
kamu itu bukan cinta yang berlandaskan cinta karena-Ku”
Coba berfikrlah jernih. Hapus air
matamu. Lupakan dia (meski sulit dan perlu tahapan), ikhlasin aja buat yang
laen. Dan buka hatimu untuk seorang yang akan mencintaimu karena Allah (so
sweet...^^). Bukankah Allah itu Yang Maha Pembolak-Balik
Hati hamba-Nya. Dialah yang
mendatangkan perasaan cinta dan Dia pula yang akan menghapus cinta itu dari
hatimu, selama engkau ikhlas dan senantiasa berprasangka baik terhadapnya.
Sungguh Dia akan menggantinya dengan cinta yang lebih indaha yag lebih patut
engkau dapatkan. Insya ALLAH
He is not a good boy,
girls! Jadi, ngapain ditangisin, nggak banget....
Ketika
globalisasi sedang gencar-gencarnya menekspos dirinya ke seluruh penjuru di
dunia, coba lihatlah wajah Indonesia, negeri kita tercinta, yang sekarang
sedang carut-marut tak tentu arah. Genderang demokrasi pun tak cukup didengar
oleh pemimpin kita yang sedang asyik berebut kursi kekuasaan hingga tak mampu
membedakan apa makna kebenaran. Rakyat yang sibuk mengutuki pemimpin karena
merasa dikhianati hingga lupa apa arti sebuah kebangkitan. Para pemuda yang
mulai atau bahkan sudah luntur akhlaknya (Naudzubillahi min dzalik...). Apa ini
yang disebut zaman modern? Wahai pemuda,
dimanakah semangat Ali bin abi Thalib, Salman Al Farizi, Khalid bin
walid? Masih adakah yang mewarisi pemuda ashaabul kahfi dan pemuda ashaabul ukhdud?
Di
zaman yang katanya serba modern ini, sungguh sangat dirindukan kehadiran
semangat pemuda seperti pemuda di zaman Rasulullah. Pemuda yang sangat
mencintai dan dicintai Allah (subhanallah.... Semoga kita mampu menjadi salah
satunya). Untuk membangkitkan semangat itu, maka kita harus memperbaiki akhlak
para pemuda. Nah, muncullah suatu gerakan tarbiyah di institusi pendidikan,
yakni mentoring.
Mengapa
harus mentoring?
“Mereka bagaikan buih terbawa banjir, tidak
memiliki bobot dan tidak memiliki nilai” Begitulah jawaban Rasulullah ketika salah
seorang sahabatnya menanyakan bagaimana kondisi umat Islam di zaman sekarang
ini. Hal tersebut terbukti, 80% penduduk
Indonesia memeluk agama Islam, tapi tak banyak yang paham dengan Islam itu
sendiri. Nyatanya, degradasi moral terjadi di mana-mana, banyak kasus
pembunuhan, pelecehan seksual, ditambah lagi kondisi mental bangsa Indonesia
yang masih kental dengan ‘mistis’ terbukti dengan masih membudayanya
kepercayaan masyarakat kepada dukun dan acara ritual sesembahan.
Nah,
maka dari itu mentoring dihadirkan untuk membangkitkan kembali semangat iman
Islam. Mentoring bukanlah segala-galanya namun segala-galanya berawal dari
mentoring. Sebagaimana kita ketahui bahwa manusia dianugrahi Allah dengan
jasad, hati, dan akal. Jika kebutuhan jasad dipenuhi dengan makan bergizi
seperti sayur dan buah, makanan akal dengan mencari ilmu, maka asupan vitamin
untuk hati salah satunya adalah dengan mentoring. Sehingga seimbang kondisi
tubuh kita, tidak berat sebelah. Mengapa mentoring mengembangkan sayapnya di
institusi pendidikan? Karena institusi pendidikan merupakan wahana pembentukan
para pemuda. Sedangkan pemuda itu memiliki 3 peran penting salah satunya sebagai
iron stock. Oleh karena itu, pemuda
yang nantinya menentukan seperti apa negara kita mendatang. Jika pemudanya
mampu dididik dengan baik serta jiwanya dipenuhi dengan akhlak Islam, tentu ia
akan mampu menjadi pemimpin yang mampu menyejahterakan rakyatnya dan membumikan
islam.
Selain
itu, mentoring mempunyai fungsi penting dalam memonitoring perkembangan
keimanan para mentee-nya karena pementor akan senantiasa menanyakan
perkembangan ibadah. Tidak hanya itu, mentoring juga merupakan wadah yang mampu
digunakan sebagai ajang sharing atas permasalahan baik bersifat pribadi maupun
umum. Selain itu, pementor juga memperhatikan bagaimana aktivitas pendidikan
para mentee mengenai permasalahan belajar dan sebagainya. Hal penting lainnya,
mentoring mampu merekatkan jalinan ukhuwah umat islam karena frekuensi
pertemuan seminggu sekali.
Pasang
surut Mentoring
Mentoring
merupakan suatu bentuk interaksi antara dua orang lebih yang memilki karakter
berbeda. Oleh karenanya, pasti akan timbul gesekan seiring dengan berjalannya
waktu.
Beberapa hal yang menjadi problematika selama
mengikuti mentoring, yaitu :
1.Sulit
menentukan waktu yang tepat, karena masing-masing personal memiliki jadwal yang
kuliah yang berbeda. Terlebih jika mengikuti beberapa organisasi atau ukm di
kampus. Sementara itu, jika weekend,
mentee sering menggunakan waktu tersebut untuk pulang kampung.
2.Mentee
malas untuk datang ke mentoring, karena kurang paham akan urgensi mentoring
bagi diri mereka. Selain itu, menganggap bahwa berangkat mentoring hanya karena
hal tersebut diwajibkan.
3.Hubungan
antara pementor dan mentee yang kurang erat. Hal ini bisa dikarenakan seorang
pementor memegang beberapa kelompok mentoring sehingga kurang fokus terhadap
para mentee.
4.Pementor
menyampaikan materi secara monoton sehingga mentee menjadi bosan.
5.Untuk
beberapa kasus, mentee tidak menyukai penampilan pementor yang berpakaian
kurang matching.
Apa
Dong Solusinya?
Untuk
mengatasi problem tersebut, kita perlu memperhatikan hal-hal berikut :
1.Mengusahakan
mentee yang memiliki jadwal kuliah yang sama agar mudah dalam menentukan jadwal
kuliah.
2.Pementor
hendaknya mempersiapkan materi dengan baik serta harus kreatif dalam
penyampaian materi agar mentee tidak merasa bosan selama mentoring.
3.Melegalkan
aktivitas mentoring di kampus. Jika birokrasi mendukung maka mentoring akan
dapat berjalan lancar. Memungkinkan untuk menjadi syarat nilai mata kuliah
agama Islam.
4.Pementor
harus berpenampilan menarik tapi tetap dalam koridor syar’i.
Bangunan
Mentoring yang Ideal itu.....
Pada
zaman Rasulullah, mentoring lebih dikenal dengan sebutan Darul Arqam. Sebuah
strategi dakwah yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi . Darul Arqam merupakan
sebuah majelis kecil yang terdiri dari delapan sampai sepuluh sahabat yang
diselenggarakan di kediaman Arqam Bin Abil Arqam (makanya disebut Darul Arqam).
Lalu apa saja aktivitas yang mereka lakukan? Rasulullah dan para sahabat duduk
dengan posisi melingkar dan melakukan empat hal, yakni membaca Al-Qur’an,
mempelajari Al-Qur’an, mempelajari sunnah, dan menyucikan ruhani. Karena mentoring
pada awalnya terinspirasi dari Darul Arqam, maka idealnya mentoring juga
terdiri dari empat aktivitas tersebut.
Menurut
Salim A. Fillah dalam bukunya Saksikan
Bahwa Aku Seorang Muslim, beliau menyebut halaqah tersebut sebagai “Getar
Cahaya dalam Atmosfer Cinta”. Subhanallah...
Sangat dalam pemaknaannya. Karena halaqah ternyata merupakan wadah di mana
orang-orang yang cinta terhadap Allah berkumpul, mengingat-Nya, mengkaji
dien-Nya.
Lalu,
Idealnya Seorang Pementor itu Seperti Apa???
Kalau
berbicara pementor yang ‘ideal’ seperti apa, pastinya kita akan merujuk pada
sepuluh karakter muslim idaman, yakni (1) Salimul Aqidah; (2) Shohihul Ibadah;
(3)Matinul Khuluq; (4)Qowwiyul Jismi; (5)Mutsaqqoful Fikri; (6) Mujahadatun
Linafsihi; (7) Harishun ‘ala Waqtihi; (8)Munadoh fii su’unihi; (9)Qodirun ‘alal
Kasbi; (10)Naafi’un Lighoirihi. Namun, sangat sulit memang untuk mencapai
sepuluh karakter tersebut dan menemukan orang yang sesempurna itu ( bisa-bisa
akan kesulitan mencari pementor).
Maka
dari itu, paling tidak untuk menjadi seorang pementor, mesti konsisten dalam
beribadah. Nah, parameter untuk ibadahnya yakni, sholat lima waktu, tilawah Al
Qur’an, ibadah sunnah lainnya seperti puasa dan shalat sunnah. Selain itu,
seorang pementor tidak hanya baik dalam segi ibadah namun juga segi akademik.
Jadi mesti seimbang antar dunia dan akhiratnya. Dan satu hal yang paling
penting , seorang pementor harus dimentoring juga
Andai
Aku Seorang Pementor
Seorang
pementor harus mempersiapkan diri baik dari segi jasmani maupun ruhani. Kita
juga harus punya mimpi, mau dibawa ke mana kelompok metoring ini. Sebagai
seorang pementor, saya ingin agar kelompok mentoring saya terjalin suatu ikatan
ukhuwah yang erat. Saya ingin membuat suatu salam khusus untuk mentee. Selain
itu, saya punya rencana jika mentoring nanti kita tidak hanya di kampus atau di
pojok ruangan mushola, tapi juga jalan-jalan seperti makan bareng atau tadabur
alam. Halaqah disertai cerita-cerita atau games agar lebih menarik. Satu hal
yang penting, saya berharap tidak hanya menjadikan para mentee untuk menjadi
ahli ibadah tapi juga sukses di akademis. “Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan
orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat”(QS.Al
Mujaadilah : 11)
Tak
pernah terlintas dalam fikiranku akan berada dalam posisi ini, mengemban
amanah, berjalan di arena dakwah seperti ini. Terkadang, ingin rasanya lari
menghindar karena kelelahan kecil ataupun celoteh tajam. Ya ALLAH... teguhkanlah hamba untuk senantiasa
tegak di jalan dakwah ini.
Teringat masa-masa dulu, disaat diri ini masih jauh dari
hijab. Namun, bukan berarti suka berpakaian yang ala you can see, ketat ataupun
“terbuka” yang terkesan seksi. Gayaku masih cukup sopanlah untuk orang timur
dan sejatinya aku memang tidak terlalu nyaman kalau memakai pakaian ketat
apalagi terbuka.
Pemahaman mengenai agama pun yach lumayanlah, soalnya
dulu sempet masuk Madrasah Ibtidaiyah (sekolah islam tapi masuknya siang, deket
rumah) walau tidak sampai selesai, kelas 5 keluar, soalnya ngerasa capek, susah
ngatur waktu. Yach maklum, pagi berangkat sekolah dasar, pulang, istirahat
bentar sekolah lagi di MI. Sok sibuk banget yah, padahal sebenarnya sih alasan
utamanya udah males aja, hehe ;P
Suatu ketika pernah terlibat obrolan kecil dengan sobat
segenk waktu SMP (sebenernya kami tidak suka dengan istilah ‘genk’ lebih suka
menyebutnya sebagai kelompok persahabatan), masih amah, mengenai ‘Kapan yah
kita pake jilbab’. Salah satu temenku waktu itu bilang pengen berjilbab ketika
kuliah nanti, yach dia yang paling
semangat untuk berjilbab waktu itu. Ada juga yang pengen berjilbab saat
sudah menikah nanti. Yang lain sepakat untuk berjilbab saat kuliah. Sementara
aku, saat itu masih tidak yakin, kapan mau berjilbab. Alasanku cukup klise,
ingin menata hati dulu baru berjilbab. Pikirku, buat apa berjilbab kalau
perilaku kita tidak sesuai syariah. Dan teman-temanku mengamini hal ini.
Saat masuk SMA,
ibu sempat menyuruh untuk berjilbab, hanya saja aku menolak dengan alasan belum
siap. Waktu itu aku merasa akan kurang nyaman saja kalau mesti pakai jilbab ke sekolah. Merasa
tidak PeDe gitulah. Padahal saat itu aku sudah paham benar bahwa berjilbab itu
merupakan kewajiban seorang muslimah yang tidak bisa ditawar ataupun ditunda. (Astagfirullah....)
Di awal tahun masuk SMA, mulai muncullah kerinduan untuk
mengkaji ilmu agama. Sungguh, inilah karunia Allah, ketika cahaya itu mulai
tersibak sedikit demi sedikit. Selalu terbesit dalam pikiranku, apa yang telah
aku persiapkan untuk akhiratku nanti. Apa yang bisa aku lakukan untuk membalas
kedua orang tuaku? Tentunya, doa anak sholeh yang mampu memberatkan nilai
amalan bagi orang tua. Selain itu, ini merupakan pintu gerbang untuk menata
hati sebelum aku berjilbab. Tahun kedua akupun tertarik untuk ikut kajian IQRO
(sejenis perkumpulan untuk para akhwat ketika ikhwan mengerjakan ibadah sholat
jum’at).
Inilah awal dari perjalanan duniaku di dunia dakwah.
Kebetulan aku mendapat amanah untuk mengurus acara IQRO dan secara tidak
langsung aktif di Rohis Al-Izzah (nama Rohis SMA 1 Pati). Aku mulai masuk dalam
halaqah dikelilingi oleh para jilbaber. Terkadang ada perasaan agak minder
karena hanya aku dan seorang temanku yang tidak berjilbab dalam lingkaran
halaqah. Jadi kalau temanku itu tidak
berangkat maka akulah satu-satunya yang tidak berjilbab.
Banyak hal yang aku dapatkan selama berada di lingkungan
ini. Bertambahnya ilmu tentang agama (bahkan mengenai hijab) dan meningkatnya
ibadah harianku contoh kecilnya lebih terjaga tilawahnya meskipun hanya 5 hari
dalam seminggu. Bahkan aku dipercaya untuk menjadi asisten pementor padahal aku
tidak berjilbab. Masih teringat bagaimana ekspresi salah satu guru agamaku yang
terkesan kaget karena aku salah satu asisten pementor. Tapi, hal ini belum juga
menumbuhkan keinginan untuk segera berjilbab.
“Kadang orang berfikir untuk menata hati dulu, jika sudah
mampu menjaga sikap baru berjilbab. Tapi bagiku, dengan berjilbab, kita justru
bisa menata hati dan menjaga perilaku agar sesuai syari’ah,” ucap seorang teman
seusai sholat dhuha. Sempat tertegun mendengarnya dan hati kecil ini pun
diam-diam membenarkan.
Hari berlalu dan akupun melupakan perkataan di pagi itu.
Hingga suatu ketika aku menemukan kalimat yang sama di dalam buku yang ku baca
(judulnya apa aku lupa, yang pasti buku itu bercerita seputar berjilbab). “Banyak wanita yang menunda untuk berjilbab
dengan alasan ingin menata hati dulu, memperbaiki perilaku baru berjilbab.
Padahal itu hanyalah bujuk rayu syaitan yang menghalangimu untuk berjilbab”
kurang lebihnya begitu. Di buku yang lain (lagi-lagi lupa judulnya)
menambahkan, “Mengapa mesti memilah-milah
dalam menjalankan perintah-Nya, sebagaimana sikap Yahudi.” (Maaf jika
redaksionalnya tidak sesuai tapi intinya begitu). Hal ini dapat kita temukan dalam QS.
Al-Baqarah : 85, “Apakah kamu beriman kepada sebahagian Al Kitab
(Taurat) dan ingkar terhadap sebahagian yang lain? Tiadalah balasan bagi orang
yang berbuat demikian daripadamu, melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia,
dan pada hari kiamat mereka dikembalikan kepada siksa yang sangat berat. Allah
tidak lengah dari apa yang kamu perbuat”
Sejak itu,
banyak hal yang aku pikirkan. Aku mulai mengagumi sosok jilbaber. Betapa
mulianya mereka sebagai wanita, mampu menunjukkan identitas sebagai seorang
muslimah. Terkadang iri melihat anak perempuan yang lebih muda dariku tapi
lebih dulu berjilbab. Sementara itu, melihat teman-teman yang mulai mengenakan
jilbab, keinginan untuk berjilbab pun mulai timbul kuat.
Sore itu, aku beranikan diri
mengutarakan keinginanku untuk berjilbab kepada ibuku. Namun, ibu berkata nanti
saja kalau kuliah. Waktu itu, aku kelas XII dan akan memasuki semester 2,
sangat berat bagi ibuku untuk membelikanku seragam sekolah yang baru. Jadi, atas pertimbangan itulah beliau
menyarankan untuk menunda sampai lulus. Sedih sekali rasanya harus menunda
untuk mengenakan jilbab, Tak terasa air mata pun menetes. Ada penyesalan kenapa
aku dulu menolak saat ibu menawarkan untuk berjilbab.
Meski begitu, aku sudah mulai belajar mengenakan jilbab
jika mendatangi suatu acara atau pergi ke tempat yang memiliki jarak tempuh
jauh. Ibu membantuku mempersiapkan segala sesuatunya, membelikan aku baju dan
jilbab walau hanya 1-2 potong. Segala
sesuatunya aku lakukan secara bertahap hingga memasuki dunia perkuliahan.
Jikalau dulu tidak mengenakan jilbab saat menjaga toko (kebetulan ortu punya
usaha kecil-kecilan di rumah) bahkan ke rumah tetangga. Sekarang alhamdulillah
sudah dikuatkan untuk berjilbab. Semoga Istiqomah menyempurnakan jilbab hingga
akhir hayat.
Begitulah
kisahnya mengapa aku berjilbab. Mungkin bagi sebagian orang tidak begitu
menarik karena aku tidak mengalami kejadian spiritual yang mengagumkan dan
menggetarkan jiwa yang mendengarkan atau membaca kisahnya. Tapi, beginilah cara
Allah menyadarkanku melalui hal yang sederhana. Tidak perlu menunggu hal-hal
besar terjadi, untuk berubah menjadi lebih baik. Cukuplah kalian merenungi
setiap detik yang telah dilalui.Fikirkan, pahami, dan resapi......
“Ya Allah jadikanlah aku hamba-Mu yang
sholeh...”
Sepotong
Doa yang pernah terucap di masa lampau dan begitulah cara Allah mengabulkan doa
hamba-Nya
Semarang, 11 Februar1 2012
Saudariku, kapankah engkau akan
berjilbab? Menutup perhiasanmu agar tidak mudah di rusak orang lain. Janganlah
menunggu terlalu lama, berjilbablah segera.