Ramadan
tahun ini terasa lebih lengang tanpa irama petasan. Anak-anak lebih suka merakit layang-layang
aneka bentuk dibandingkan bermain api. Setidaknya, kegiatan ini lebih banyak
positifnya. Selain lebih aman karena tidak ada risiko terbakar dan suara yang
memekakkan telinga, musim layang-layang ini bisa menjadi ajang pengembangan
kreativitas anak-anak. Melihat layang-layang yang mengudara di awang-awang, tetiba
teringat dengan kenangan masa kecil. Bukan tentang asyiknya bermain
layang-layang tapi tentang hal lain yang bisa terbang pula.
Sewaktu
kecil dulu, seusia batuta (baca : dibawah umur tujuh tahun), aku memiliki
kebiasaan berburu capung dan kupu-kupu di halaman rumah. Dulu, halaman depan
rumah masih dipenuhi dengan berbagai macam bunga. Jadi, kedua hewan yang
tergolong insekta ini kerap sekali singgah di halaman. Mereka termasuk insekta
yang cantik dengan kedua sayap aneka warna. Itulah hal yang mempesonaku.
Lalu,
bagaimana caraku memburunya? Biasanya, aku menggunakan plastik ukuran sedang berwarna
bening yang diikatkan pada patahan ranting pohon. Nah, setiap aku berhasil
menangkap seekor capung (lebih sering menangkap capung daripada kupu-kupu), aku
pun mengaitkan benang jahit dibagian ekor ataupun badannya. Entah apa yang aku pikirkan saat itu. Yang
jelas, naluri kanak-kanakku sama sekali tak bermaksud menyakiti si capung. Aku
suka capung, mungkin itu caraku untuk memilikinya.
Apa
yang kulakukan selanjutnya? Aku akan memegang ujung tali yang lain seolah-olah
menerbangkan sang capung. Tentu, tindakanku ini melukai sang capung. (maaf ya,
pung L).
Ya, tindakanku membuat sayap capung
patah ataupun ekornya putus. Dan, akhirnya... matilah ia.
Lain
halnya dengan cerita dari seorang teman. Keponakannya (masih kanak-kanak) baru
saja mendapat hewan peliharaan baru yang menggemaskan. Nah, si keponakan ini
pun senangnya bukan main mendapat peliharaan baru. Namun, tak sampai selang
sebulan, hewan itu pun mati. Menurut cerita, keponakan temanku itu sangat gemas
dengan peliharaannya, sering digendong, diremas-remas. Dan, entah seperti apa
lagi perlakuannya hingga menyebabkan hewan lucu itu meninggal.
Anak-anak
memang belum paham bagaimana cara memperlakukan apa yang disayanginya dengan
baik. Mereka berada di masa tumbung-kembang dan belajar tentang lingkungan
sekitar. Jadi, ketika mereka salah memperlakukan hewan kesayangan hingga menyebabkan
hewan tersebut tersakiti bahkan meninggal, kita hanya bisa membuat pemakluman,
namanya juga anak-anak.
Lalu,
apakah kita yang dewasa ini sudah bisa memperlakukan apa yang disekitar kita
dengan baik? Jangan-jangan kita pun masih bersikap layaknya kanak-kanak yang
tak mampu memperlakukan orang lain dengan baik dan mengunggulkan ego sendiri.
“Aku
melakukan ini demi kebaikanmu” atau “Ini yang terbaik untukmu, kamu pasti
bahagia.”
Kita
tak bisa menghakimi sesuatu yang kita lakukan itu yang terbaik tanpa
mempertimbangkan perasaan orang lain serta merunut kaidah agama. Jika
orang bilang, “perlakukanlah orang lain sebagaimana kamu ingin diperlakukan”
maka aku lebih suka memilih, “perlakukanlah orang lain sebagaimana mereka harus
diperlakukan”. Memperlakukan orang lain sebagaimana diri ini ingin diperlakukan
adalah suatu bentuk keegoisan. Kita memandang kebahagiaan dan kenyamanan orang
lain dengan ukuran diri sendiri. Padahal, setiap orang memiliki bentuk perasaan
yang berbeda-beda, tidak bisa disamaratakan. Saya pun tak setuju jika orang
bilang, “perlakukanlah orang lain sebagaimana mereka ingin diperlakukan”.
Karena, tak semua yang diingini manusia itulah yang terbaik bagi diri mereka. Maka memperlakukan orang lain sebagaimana
mereka harus diperlakukan adalah pilihan yang paling bijak. Kata ‘harus’
menunjukkan adanya suatu pakem-pakem yang mendasari suatu perlakuan. Pakem-pakem
inilah yang nantinya akan membentuk seseorang menjadi pribadi yang lebih baik
sedangkan memperlakukan seseorang sesuai dengan keinginannya hanyalah akan
membuat sifat buruk senantiasa bertengger dalam diri seseorang.