Senin, 30 Juni 2014

CANGKIR 02 : EKSPRESI CINTA YANG MENYIKSA

Ramadan tahun ini terasa lebih lengang tanpa irama petasan.  Anak-anak lebih suka merakit layang-layang aneka bentuk dibandingkan bermain api. Setidaknya, kegiatan ini lebih banyak positifnya. Selain lebih aman karena tidak ada risiko terbakar dan suara yang memekakkan telinga, musim layang-layang ini bisa menjadi ajang pengembangan kreativitas anak-anak. Melihat layang-layang yang mengudara di awang-awang, tetiba teringat dengan kenangan masa kecil. Bukan tentang asyiknya bermain layang-layang tapi tentang hal lain yang bisa terbang pula.

Sewaktu kecil dulu, seusia batuta (baca : dibawah umur tujuh tahun), aku memiliki kebiasaan berburu capung dan kupu-kupu di halaman rumah. Dulu, halaman depan rumah masih dipenuhi dengan berbagai macam bunga. Jadi, kedua hewan yang tergolong insekta ini kerap sekali singgah di halaman. Mereka termasuk insekta yang cantik dengan kedua sayap aneka warna. Itulah hal yang mempesonaku.

Lalu, bagaimana caraku memburunya? Biasanya, aku menggunakan plastik ukuran sedang berwarna bening yang diikatkan pada patahan ranting pohon. Nah, setiap aku berhasil menangkap seekor capung (lebih sering menangkap capung daripada kupu-kupu), aku pun mengaitkan benang jahit dibagian ekor ataupun badannya.  Entah apa yang aku pikirkan saat itu. Yang jelas, naluri kanak-kanakku sama sekali tak bermaksud menyakiti si capung. Aku suka capung, mungkin itu caraku untuk memilikinya.

Apa yang kulakukan selanjutnya? Aku akan memegang ujung tali yang lain seolah-olah menerbangkan sang capung. Tentu, tindakanku ini melukai sang capung. (maaf ya, pung L). Ya,  tindakanku membuat sayap capung patah ataupun ekornya putus. Dan, akhirnya... matilah ia.

Lain halnya dengan cerita dari seorang teman. Keponakannya (masih kanak-kanak) baru saja mendapat hewan peliharaan baru yang menggemaskan. Nah, si keponakan ini pun senangnya bukan main mendapat peliharaan baru. Namun, tak sampai selang sebulan, hewan itu pun mati. Menurut cerita, keponakan temanku itu sangat gemas dengan peliharaannya, sering digendong, diremas-remas. Dan, entah seperti apa lagi perlakuannya hingga menyebabkan hewan lucu itu meninggal.

Anak-anak memang belum paham bagaimana cara memperlakukan apa yang disayanginya dengan baik. Mereka berada di masa tumbung-kembang dan belajar tentang lingkungan sekitar. Jadi, ketika mereka salah memperlakukan hewan kesayangan hingga menyebabkan hewan tersebut tersakiti bahkan meninggal, kita hanya bisa membuat pemakluman, namanya juga anak-anak.

Lalu, apakah kita yang dewasa ini sudah bisa memperlakukan apa yang disekitar kita dengan baik? Jangan-jangan kita pun masih bersikap layaknya kanak-kanak yang tak mampu memperlakukan orang lain dengan baik dan mengunggulkan ego sendiri.

“Aku melakukan ini demi kebaikanmu” atau “Ini yang terbaik untukmu, kamu pasti bahagia.”

Kita tak bisa menghakimi sesuatu yang kita lakukan itu yang terbaik tanpa mempertimbangkan  perasaan orang lain serta merunut kaidah agama. Jika orang bilang, “perlakukanlah orang lain sebagaimana kamu ingin diperlakukan” maka aku lebih suka memilih, “perlakukanlah orang lain sebagaimana mereka harus diperlakukan”. Memperlakukan orang lain sebagaimana diri ini ingin diperlakukan adalah suatu bentuk keegoisan. Kita memandang kebahagiaan dan kenyamanan orang lain dengan ukuran diri sendiri. Padahal, setiap orang memiliki bentuk perasaan yang berbeda-beda, tidak bisa disamaratakan. Saya pun tak setuju jika orang bilang, “perlakukanlah orang lain sebagaimana mereka ingin diperlakukan”. Karena, tak semua yang diingini manusia itulah yang terbaik bagi diri mereka.  Maka memperlakukan orang lain sebagaimana mereka harus diperlakukan adalah pilihan yang paling bijak. Kata ‘harus’ menunjukkan adanya suatu pakem-pakem yang mendasari suatu perlakuan. Pakem-pakem inilah yang nantinya akan membentuk seseorang menjadi pribadi yang lebih baik sedangkan memperlakukan seseorang sesuai dengan keinginannya hanyalah akan membuat sifat buruk senantiasa bertengger dalam diri seseorang. 

Minggu, 29 Juni 2014

CANGKIR 01 : MENJADI TUAN RUMAH

Konon, ketika tamu istimewa bertandang, tuan rumah akan bersiap diri dengan pakaian yang terbaik, menata rumah dengan indah dan menyiapkan hidangan yang spesial. Lalu, bagaimana jika yang bertandang itu bulan ramadan?

Ketika hari-hari terlewati hingga satu tahun qomariyah penuh, pertemuan itu pun terulang kembali. Ramadan kembali bertandang di akhir bulan Juni. Ya, sebuah akhir untuk awal yang spesial. Gembirakah kita menyambutnya? Sudah cukupkah persiapan yang telah dilakukan sebelumnya? Tidak! Tidak cukup bagi saya. Bukan karena tak sempat, lebih tepatnya saya tak menyempatkan diri untuk melakukan persiapan. Terlalu lena rupanya. Sebab kelenaan ini pulalah yang akhirnya membuat keterlambatan dalam menuliskan target-target ramadan. Sebenarnya, beberapa target ramadan telah termaktub dalam otak. Tapi, bukankah manusia tempatnya lupa? Maka perlulah untuk menuliskannya sebagai pengingat.

Merancang suatu target ramadan di hari pertama merupakan suatu keterlambatan. Bagaimana mungkin merancang sesuatu di hari H? Namun, tak ada kata terlambat dalam upaya kebaikan dan perbaikan diri, bukan? Hal terpenting dalam suatu target bukanlah kapan kita merancangnya, tetapi bagaimana suatu target itu bisa dilaksanakan sampai akhir. Maksudnya, tidak hanya sekedar tercapai tapi tetap berusaha untuk menjaga kesitiqomahan diri untuk selalu berada bahkan melampaui target tersebut di pasca ramadan.

Nah, untuk mencapai hal tersebut, hal terpenting lainnya adalah berupaya membersihkan diri dari segala dosa. Seorang tuan rumah haruslah dalam kondisi bersih dan segar kala menyambut tamunya. Begitu pula kita dalam menyambut ramadan. Kita haruslah mempersiapkan diri dengan bertobat. Pertobatan atas perilaku terhadap sesama makhluk hidup ataupun dengan sang pencipta. Ketika kita menyakiti seseorang, Allah takkan mengampuni kita sebelum kita meminta maaf kepada orang yang tersakiti. Maka, sebelum datangnya ramadan, hendaklah kita mengirimkan permohonan maaf kepada keluarga, teman, dan saudara. Barangkali, ada perilaku ataupuan ucapan yang tanpa kita sadari telah menyakiti hati orang lain.

Dosa yang kita lakukan itu ibarat suatu bercak hitam. Dosa kecil pun layaknya bercak kecil sedangkan dosa besar pun layaknya bercak yang besar-besar. Alangkah bahayanya jika bercak-bercak hitam itu akhirnya menodai hati kita. Ketika hati telah ternoda, ia pun akan terjangkit penyakit. Penyakit inilah yang akhirnya menghalangi kita dari rahmat Allah. Apa akibatnya? Allah akan memberikan kesempitan untuk kita. Kesempitan itu banyak sekali macamnya, entah berupa kelenaan, kesulitan dalam menyempatkan untuk beribadah, kemalasan, dan lain sebagainya. Itulah mengapa, Rasulullah pun mengingatkan kita untuk mengawali ramadan ini dengan pertobatan. Karena hati yang bersih akan mengantarkan kita pada kekhusyukan ibadah selama ramadan.


Mari kita sempurnakan diri kita dalam menyambut ramadan dengan saling memaafkan. Maka, tak ada hal yang patut terucap di hari pertama ramadan ini selain, mohon maaf atas segala khilaf yang telah menyakiti hati kalian. Maaf.